Jakarta, Gesuri.id - Tercatat dua kali pada waktu yang berdekatan, kabar protes masyarakat Papua kepada kinerja Aparat Keamanan. Pertama di Merauke, video oknum PM TNI-AU (27/7/2021). Kedua di Jayapura, pembakaran Mapolsek Nimboran (02/8/2021).
Belajar dari penyelesaian konflik bernuansa disintegrasi di Papua, kepercayaan kepada OAP (Orang Aseli Papua) memang sudah dijalankan sejak lama. Mulai dari regulasi yang mengatur syarat Kepala Daerah, penerimaan Putera/Puteri Papua untuk masuk sebagai calon Prajurit TNI, calon Anggota POLRI, dan juga Calon ASN.
Namun, semacam ketidakpercayaan dan sensitivitas masyarakat Papua kepada Non OAP cenderung menguat manakala terjadi anomali sosial, misalnya seputar kekeliruan prosedur oleh oknum Aparat Penegak Hukum.
Padahal, kekeliruan atau kesalahan procedural penanganan itu biasa terjadi. Mendera siapa saja, tak ketinggalan Aparat yang bertugas di Papua. Berangkat dari rekam latar peristiwa yang terjadi, saya berusaha mencari alternatif dari pertanyaan mengapa anomali sosial terhadap Aparat Non OAP bisa menjalar secepat itu? Selanjutnya, bagaimana mereduksi anggapan masyarakat Papua dan sebagian besar Aktivis HAM soal ini?
Sebagai pembuka, gadget dan berbagai macam teknologi memang dapat digunakan untuk kepentingan kelompok pendukung NKRI atau kelompok pro disintegrasi. Yang jadi problem lanjutan adalah informasi itu menjalar begitu cepat, sementara Netizen yang semakin praktis dalam menyerap informasi, tentu masih banyak sekali.