Temu Kangen Cak Nun di Masjid At Taufiq PDI Perjuangan

Oleh: Yayan Sopyani Al Hadi, Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi); kader Marhaenis Muhammadiyah (Marmud).
Minggu, 10 April 2022 08:04 WIB Jurnalis - Effatha Gloria V.G. Tamburian

Jakarta, Gesuri.id - Indonesia beruntung memiliki sosok-sosok dan institusi yang melintas-batas. Di antara sosok itu adalah Emha Ainun Najib. Cak Nun, demikian ia disapa, tak bisa dikurung oleh definisi apapun. Cak Nun adalah kyai, budayawan, seniman, intelektual, penulis produktif atau apa saja, termasuk warga negara Indonesia biasa. Cak Nun sosok dzu wujuh : memiliki banyak wajah.

Tak heran, Kyai Mbeling asal Jombang itu bisa menjadi apa saja dalam pergulatan kehidupan keindonesian dan kemanusiaan. Cak Nun sudah lepas dari baju apapun yang bersifat primordialistik. Ia adalah seorang manusia hamba Tuhan, tanpa mau dilekatkan embel-embel apapun.

Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, Cak Nun juga dikenal sebagai seorang kritikus tajam. Ia akan bicara lantangatau menulis tajampada setiap realitas sosial yang dinilai tak sesuai dengan yang seharusnya (atau minimal yang tak sesuai dengan pikiran dan perasaanya). Bahkan, ia juga bergulat dan bergelut di alam nyata kehidupan, setiap hari.

Namun bukan Cak Nun bila asal kritik, selain karena Ia telah mengalami proses permenungan dan cinta yang mendalam atau juga karena gesekan riil di tengah masyarakat, Cak Nun juga sangat memahami realitas yang selalu ada. Cak Nun adalah sosok yang empati pada jenis dan kondisi manusia jenis apapun.

Karena itu Cak Nun bisa bercengkrama dengan siapapun, termasuk yang sudah dikasih catatan olehnya. Ia juga bisa manerima siapa saja, termasuk mereka yang salah pandang atau pernah menilai sinis padanya. Dalam bahasa Gus Dur, Cak Nun bukanlah hamba amatiran yang sangat tergantung pada penilaian baik-buruk orang lain.

Baca juga :