Ikuti Kami

Refleksi Kudatuli: Momentum Perteguh Komitmen untuk Rakyat

Oleh: Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto

Refleksi Kudatuli: Momentum Perteguh Komitmen untuk Rakyat
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto

Yogyakarta, Gesuri.id - Hari ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memperingati peristiwa yang terjadi pada tanggal 27 Juli 1996, saat itu kita melihat bahwa kepemimpinan arus bawah dari Ibu Megawati Soekarnoputri digencet, dihancurkan dengan segala cara oleh kekuasaan yang sangat otoriter. Kekuasaan pada saat itu mencoba membungkam yang namanya demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu sendiri.

Kita masih ingat betul bagaimana saat itu di Jalan Diponegoro 58 berdirilah mimbar demokrasi, mimbarnya rakyat. Di situ kita diingatkan pesan Bung Karno bahwa ketika kita berbicara di pondium maka kita berbicara sebagai penyambung lidah rakyat indonesia. Karena itulah pada peringatan 27 Juli tersebut kita juga mengingat bahwa sejatinya demokrasi berasal dari rakyat, kedaulatan ada di tangan rakyat dan tidak ada pemimpin lahir tanpa dukungan rakyat.

Baca: Menanti Janji Penuntasan Kasus Kudatuli

Karena itu kita melihat, bapak presiden kita, Joko Widodo di mana pada tanggal 23 Februari 2018 lalu Ibu Megawati Soekarnoputri setelah mendengar aspirasi rakyat, maka Ibu Megawati Soekarnoputri mengambil keputusan untuk mencalonkan Bapak Jokowi sebagai calon presiden yang diusung oleh PDI Perjuangan. Mengapa? Karena dalam penilaian Ibu Megawati Soekarnoputri dan juga dari aspirasi rakyat indonesia, Bapak Jokowi dinilai betul-betul mampu memahami apa itu demokrasi untuk rakyat. Sehingga jika Pak Jokowi tidak blusukan di tengah rakyat, ketika Pak Jokowi tidak datang berdialog dengan rakyat, Pak Jokowi bisa masuk angin. Maka Pak Jokowi harus datang di tengah rakyat, berdialog dengan rakyat dan itulah kepemimpinan Marhaenis yang memperjuangkan wong cilik. Para petani, buruh, pedagang dan sebagainya.

Itulah yg menjadi salah satu semangat ketika mimbar demokrasi itu diadakan di Jalan Diponegoro 58, sebagai tanggung jawab untuk memperkuat demokrasi arus bawah melawan pemerintahan otoriter Soeharto saat itu. Ketika mimbar demokrasi itu dibuka maka bergemalah suara rakyat dari seluruh pelosok Indonesia yang selama 32 tahun tenggorokannya terkunci rapat-rapat tidak bisa menyuarakan apa itu hakikat mendapatkan kesejahteraan untuk rakyat. Tetapi dengan mimbar demokrasi itu kita bisa melihat bersama bagaimana kebuntuan akhirnya bisa dibuka, bagaimana kekuatan arus bawah akhirnya mampu mengalahkan kekuasaan yang otoriter.

Apa yang terjadi di Jalan Diponegoro saat itu betul-betul membuat penguasa kebakaran jenggot. Mereka mengalami ketakutan yang luar biasa terlebih pada tahun 1997 akan diadakan Pemilu. Maka dirancanglah sebuah upaya sistematis bagaimana di negara demokrasi, di mana Ibu Megawati soekarnoputri terpilih secara sah sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia saat itu dan juga telah diterima oleh pimpinan tertinggi di Indonesia yaitu Bapak Soeharto. Tetapi demi kestabilitas versi kekuasaan yang sangat otoriter tersebut maka PDI harus dilenyapkan dari muka bumi Indonesia. Tetapi sejarah berkata lain. Setelah Kantor DPP PDI iserang justru yang terjadi sebaliknya. Bukannya PDI hangus dari muka bumi, terbakar oleh kekuasaan yang menindas. Tidak!!! Yang terjadi adalah kekuatan arus bawah yang bersimpati, berempati memberikan dukungan kepada pergerakan Ibu Megawati Soekarnoputri.

Saat itu kita melihat seluruh elit dari DPP PDI mengatakan kepada Ibu Mega, "Bahwa ini tiba saatnyaIibu bagi kita untuk melakukan revolusi, bagi kita untuk menurunkan pemerintahan Soeharto yang otoriter tersebut. Mari kita buat Indonesia berevolusi sebagaimana Ferdinad Marcos berhasil kita turunkan."

Tetapi apa jawaban Ibu Megawati Soekarnoputri, "Saya tidak mau menempuh jalan itu, kita harus berjuang dalam tertib hukum karena kita adalah negara hukum. Maka marilah kita secara serentak kita mengadukan kesewenang-wenangan dari pemerintah yang otoriter itu melalui proses hukum." Maka diajukanlah gugatan di seluruh kabpaten kota. Saat itu jumlahnya mencapai lebih dari 256 kabupaten/kota.

Salah satu DPD menanyakan kepada Ibu Mega, "Bukankah kepolisian, kejaksaan, ABRI betul-betul dikuasai oleh kekuasaan yang otoriter?" Tetapi Ibu Mega dengan penuh keyakinan mengatakan, "Masa di antara ribuan hakim, ribuan jaksa, ribuan polisi di Indonesia tudak ada satu pun yang memiliki hati nurani?" Ketika hati nurani itu berbicara dan kemudian gugatan kita dimenangkan, di situlah terjadi arus balik kemenangan dari kekuatan arus bawah tersebut.

Dan sejarah mencatat, dari Riau kita memenangkan gugatan itu, Ibu Mega akhirnya betul-betul dikukuhkan sebagai Ketua Umum PDI. Meskipun kita tidak boleh ikut di dalam Pemilu 1997, tetapi bukannya PDI Perjuangan habis, tidak!!! PDI Perjuangan justru menjadi kokoh di dalam gemblengan, di dalam terpaan justru membuat PDI Perjuangan semakin kokoh dan akhirnya kita melihat Pak Harto, oleh kekuatan reformasi, kekuatan mahasiwa justru kemudian dia ditekan dan mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan.

Kita melihat pesan Bung Karno bahwa yang namanya kekuasaan presiden pun ada batasnya. Akhirnya demokrasi arus bawah dimenangkan dan berubahlah PDI menjadi PDI Perjuangan. Akhirnya pada tahun 1999 kita bisa mengikuti Pemilu yang demokratis dan di situlah oleh kehendak rakyat PDI Perjuangan dinyatakan sebagai pemenang Pemilu.

Sebagai partai, kita terlahir melalui sejarah yang panjang. PDI Perjuangan didirikan oleh Bung Karno dengan rekam jejak sejarah pada tanggal 4 juli 1927 ketika Bung Karno membentuk Partai Nasional Indonesia. Dengan sejarah yang panjang tersebut, maka tugas kita sebagai partai politik tidak lain dan tidak bukan adalah memimpin pergerakan rakyat. Untuk apa? Agar rakyat sadar akan hak dan kewajiban politiknya, pada hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

Untuk itu makan PDI Perjuangan terus melakukan penyempurnaan diri. Karena kami percaya bahwa PDI Perjuangan berasal dari rakyat itu sendiri. Berbagai perbaikan-perbaukan dilakukan di internal partai sendiri. Berbagai perbaikan-perbaikan dilakukan di internal partai melalui sekolah partai yang dipimpin oleh Pak Idham Samawai. Melalui sekolah para calon pemimpin kepala daerah, sekolah calon legislatif. Karena itulah, dengan peringatan 27 Juli ini marilah kita batinkan seluruh tekad kerakyatan kita. Jadi dengan membatinkan tekad kerakyatan kita ini maka tugas PDI Perjuangan harus menyatu dengan kekuatan rakyat itu sendiri.

Untuk itu kalau kita lihat hari ini di bawah pemerintahan Pak Jokowi, peristiwa kelabu 27 Juli 1996 masih perlu kita perjuangakan melalui jalur hukum, jalur politik tetapi proses rekonsiliasai terhadap mereka yang menjadi korban. Kita tahu bagaimana saat itu ABRI betul-betul di bawah cengkraman otoriter Pak Harto. Mereka hanya menjalankan tugas.

Tetapi di antara para tokoh bangsa, kita melihat masih banyak mereka-mereka yang menjadi saksi, yang menjadi pelaku, yang mengetahui betul sebuah skenario untuk melakukan membumihanguskan terhadap kantor DPP PDI saat itu. Salah satunya adalah Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Karena itu kita mengharapkan kebesaran jiwa dari Pak SBY agar beliau betul-betul mampu membuka sisi-sisi gelap di dalam serangan 27 Juli 1996. Siapa aktor intelektualnya, siapa yg memberi perintah untuk menghancurkan kantor DPP PDI itu sendiri.

Tugas kita bukan untuk memberikan dendam masa lalu. Tugas kita bukan untuk memberikan hukuman dengan cara-cara yang tidak beradab. Tugas kita untuk membuka sisi gelap itu, agar bangsa ini bisa belajar, agar ke depan tidak boleh lagi ada sebuah kekerasan atas nama kekuasaan yang memberangus demokrasi kekuatan rakyat itu sendiri.

Karena itulah mari kita kawal bersama upaya hukum untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di atas kebenaran itu sendiri. Kepada mereka-mereka yang mengetahui, bahkan menjadi aktor intelektual dari peristiwa 27 Juli, kami harapkan sekali lagi kebesaran jiwanya demi masa depan bangsa dan negara, demi pembelajaran sejarah kepada generasi muda untuk mengungkapkan aktor intelektual dari peristiwa 27 Juli.

Para senior partai, kemarin kami datang ke Komnas HAM. Kami meminta kepada Komnas HAM agar membuka kembali peristiwa kelabu yang nyaris menghancurkan kekuatan demokrasi yang ada di Indonesia pada saat itu.  Alhamdulillah, ketika kami bertemu dengan komisioner Komnas HAM mereka menyataka siap. Mereka menyatakan siap membentuk tim ad hoc untuk mengkaji terhadap dugaan pelanggaran HAM yang berat atas peritiwa 27 juli 1996 yang dikenal dengan Kudatuli itu. Karena itulah mari kita bersatu padu, kita perkuat semangat gotong royong di antara kita.

Karena bersatu kita kuat. Kita kuat karena bersatu. Mari kita perjuangkan kebenaran di atas kebenaran agar mereka yang terlibat di dalam kasus 27 Juli tersebut betul-betul dapat membuka dan kemudian diproses sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan itu sendiri.

Baca: Peringati Kudatuli, Hasto Konsolidasi Menangkan Jokowi

Kami percaya bahwa tokoh sperti Pak SBY,  beliau memiliki informasi-informasi yang akurat terkait dengan peristiwa itu. Karena itulah kedatangan kita ke Komnas HAM sebagi tugas konstitusional kita mewakili perjuangan selalu taat pada hukum. Karena itulah dengan memperingati peristiwa tersebut di tengah rakyat, mari kita jadikan momentum peringatan Kudatuli untuk memperteguh komitmen kita di tengah rakyat.

Untuk itu kepada seluruh caleg PDI Perjuangan, kepada seluruh jajaran struktural partai, mari kita laksanakan dengan baik. Sebaik-baiknya. Perintah Ibu Mega untuk turun ke bawah, untuk selalu ada di tengah rakyat karena itulah jati diri kita. Untuk mengobarkan kebudayaan di tengah rakyat, untuk membangun martabat dan harga diri rakyat agar mereka betul-betul kita perlakukan sebagai warga negara yang sejatinya memiliki kedaulatan atas kekuasaan itu sendiri.

Quote