Ikuti Kami

Alat Ukur Kinerja DPR Tergantung dari Pemerintah

Kinerja legislasi DPR tergantung juga dengan kinerja di sisi pemerintahnya.

Alat Ukur Kinerja DPR Tergantung dari Pemerintah
Anggota Fraksi PDI Perjuangan Andreas Hugo Pariera.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Fraksi PDI Perjuangan Andreas Hugo Pariera menyatakan, tak adil bila alat ukur kinerja DPR sekadar menyangkut kinerja legislasi. Sebab kinerja legislasi DPR tergantung juga dengan kinerja di sisi pemerintahnya.

Baca: Marak Bacaleg Lompat Partai Pengaruhi Kinerja DPR

Sementara di sisi lain, Presiden Jokowi sendiri berkali-kali menyatakan bahwa tak diperlukan banyak undang-undang dan peraturan baru. Sebab aturan baru kerap membuat aparat di tingkat pelaksana pusing dengan perubahan-perubahan baru.

"Jadi soal legislasi ini bukan hanya kerja DPR. Tapi pemerintah juga. Sementara sikap pemerintah juga seperti itu," kata Andreas, Kamis (6/12).

Kalaupun Pemerintah sudah bersedia membahas satu rancangan undang-undang (RUU), harus diingat bahwa DPR terdiri dari berbagai fraksi. Dan berbagai fraksi diisi individu anggota dewan. 

Sehingga ketika membahas RUU, sikap individu anggota dewan harus disamakan dulu. Setelah itu, sikap bersama DPR itu diadu lagi untuk dipersamakan dengan Pemerintah.

"Tak mudah menyatukannya. Butuh waktu lama," kata Andreas.

"Jadi jangan salah menilai dan sekadar mau memojokkan DPR saja."

Lebih lanjut, Andreas mengatakan fungsi legislasi itu harus dikerjakan bersama dengan fungsi lainnya.

Kenapa anggota DPR banyak melakukan kunjungan kerja (kunker)? Kata Andreas, itu karena tugas pengawasan DPR, sekaligus tugas representasi. Dan permasalahan di lapangan memang sangat banyak.

Sebagai contoh, untuk mengawasi pelaksanaan Dana Desa saja, setiap anggota dewan pasti menerima banyak sekali keluhan masyarakat. Dan itu dijadikan aspirasi yang harus dibawa ke tingkat pusat, dan disampaikan ke Pemerintah untuk ditangani.

"Di rapat-rapat DPR, itulah yang kita sampaikan ke Pemerintah, kita dorong untuk diberi solusi. Itulah fungsi pengawasan," kata Andreas.

"Dan itu penting. Karena model birokrasi kita belum bisa berubah dengan cepat. Saya berani katakan, mungkin lebih banyak DPR yang turun ke lapangan dibanding birokrat kita. Padahal birokratlah eksekutornya. Semua kunjungan itu ada laporannya. Saya tak tahu apakah LSM-LSM itu mengecek laporan itu untuk mengukur kinerja DPR," bebernya.

Andreas menekankan, dirinya bukan hendak mencari pembenaran seakan DPR saat ini lebih baik. Karena harus diakui memang ada degradasi etos, kesadaran, dan pemahaman kebanyakan anggota dewan saat ini. Khususnya menyangkut posisi sebagai representasi rakyat.

Baca: Jokowi Minta TNI-Polri Sampaikan Kinerja, DPR: apa Salah?

Hal itu tercermin dari rendahnya tingkat kehadiran di rapat paripurna dan rapat-rapat di komisi. Harus diakui, kata Andreas, banyak anggota yang merasa tak penting untuk hadir. Hal ini berbeda dengan DPR di periode-periode sebelumnya.

Selain itu, kualitas pembicaraan di DPR juga menurun. Seharusnya DPR, sebagai lembaga parlemen, lebih banyak berdebat dan berdiskusi. Namun saat ini, debat-debat demikian terasa kurang. "Sekarang pembicaraan politik lebih banyak di luar parlemen," kata dia.

Namun secara umum, menurut dia, tak seharusnya ada yang berusaha memojokkan DPR soal kinerja hanya karena penyelesaian RUU.

Quote