Jakarta, Gesuri.id - Nama Cornelis, tidak asing di telinga masyarakat Kalimantan Barat. Setelah menuntaskan dua periode kepemimpinannya sebagai Gubernur Kalbar (2008–2018), ia kembali dipercaya rakyat sebagai anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Kalimantan Barat I sejak 2019.
Pada Pemilu 2024 lalu, Cornelis bahkan meraih suara tertinggi dari PDI Perjuangan di dapilnya, yang mencakup Kabupaten Sambas, Mempawah, Ketapang, Bengkayang, Landak, Kayong Utara, Kubu Raya, serta Kota Pontianak dan Singkawang.
Kepercayaan publik ini tidak dianggapnya sebagai hadiah politik, melainkan amanah yang harus dijawab dengan kerja nyata.
“Legitimasi politik hanya bisa dijaga bila rakyat benar-benar merasakan manfaat pembangunan,” tegas Cornelis. Kini ia duduk di Komisi XII DPR RI yang membidangi energi, sumber daya mineral, lingkungan hidup, dan investasi.
Baca: Ganjar Harap Kepemimpinan Gibran Bisa Teruji
Cornelis menempatkan sektor energi dan sumber daya alam sebagai salah satu prioritas utama. Tiga pilar perjuangan ia tegakkan: Pertama, keadilan bagi daerah penghasil energi agar memperoleh porsi keuangan sepadan. Kedua, investasi di sektor energi yang memperhatikan kelestarian lingkungan. Ketiga, jaminan agar hasil investasi benar-benar menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat lokal.
Ia menyoroti Kalimantan Barat yang dikenal sebagai penghasil bauksit terbesar di Indonesia. Data BPS mencatat, sektor pengolahan bauksit menyumbang 15,38 persen terhadap PDRB Kalbar. Namun, kontribusi besar ini belum sepenuhnya dinikmati masyarakat sekitar tambang.
Cornelis mengingatkan agar pembangunan tambang tidak hanya mengejar angka PDRB, tetapi juga menjamin keberlanjutan lahan, akses pekerjaan, infrastruktur, serta kualitas lingkungan.
“Jangan sampai petani kita tidak bisa lagi menanam karena kerusakan lahan bekas tambang,” ujarnya.
Salah satu proyek besar yang ia kawal adalah pembangunan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah dengan investasi Rp12,5 triliun. Pabrik ini ditargetkan mampu memproduksi satu juta ton alumina per tahun.
Namun dari tujuh smelter yang direncanakan, baru satu yang berjalan. Enam lainnya masih terkendala pendanaan dan mitra strategis.
Cornelis mendorong agar pemerintah pusat dan daerah memperkuat pengawasan serta membuka ruang partisipasi publik dalam setiap tahapan pembangunan.
Masalah energi di Kalbar juga masih nyata. Hingga 2025, lebih dari 700 desa belum menikmati listrik PLN. Meski rasio elektrifikasi sudah mencapai 94,23 persen, masih ada 366 desa bergantung pada energi alternatif atau hidup tanpa listrik.
Cornelis menegaskan pemerataan listrik adalah fondasi pembangunan yang tidak bisa ditawar. “Tanpa listrik, pemerataan pembangunan hanya akan menjadi slogan kosong,” katanya.
Ia mendorong percepatan program listrik desa dengan fokus pada sambungan rumah tangga miskin, penguatan jaringan di wilayah terpencil, serta subsidi bagi desa tertinggal.
Baca: Ganjar Tegaskan PDI Perjuangan Sebagai Penyeimbang Pemerintah
Baginya, akses energi bukan sekadar teknis, tetapi juga wujud keadilan sosial. Listrik membuka jalan bagi pendidikan lebih baik, tumbuhnya usaha kecil, serta meningkatnya pelayanan publik di desa.
Sebagai putra Dayak, Cornelis vokal memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Ia menolak keras kebijakan yang berpotensi menggusur atau meminggirkan komunitas lokal.
“Negara harus hadir melindungi masyarakat adat, bukan justru melemahkan mereka,” tegasnya.
Ia menyoroti kebijakan Badan Otorita IKN yang dinilai diskriminatif terhadap masyarakat adat Kalimantan.
Cornelis mengingatkan, bila tanah ulayat digusur tanpa musyawarah dan ganti rugi adil, pembangunan IKN hanya akan melahirkan luka sosial baru.

















































































