Bung Karno Tak Pernah Mati

Oleh: Imran Hasibuan, penulis buku biografi tokoh-tokoh terkenal.
Rabu, 06 Juni 2018 16:44 WIB Jurnalis - Andri Setiawan

Hari ini, 6 Juni, kita memperingati kelahiran Bung Karno. Seratus tujuh belas tahun lalu, putra sang fajar lahir dari rahim ibundanya, Idayu Nyoman Rai, di Surabaya. Soekarno wafat 21 Juni 1970. Hingga hari ini jasadnya telah terbaring di Blitar selama 48 tahun.

Tapi, sejatinya Bung Karno tak pernah mati. Ia dicoba dibunuh berkali-kali, gagasan dan pemikirannya diberangus. Tapi, Bung Karno hidup kembali. Sampai hari ini pemikirannya masih dibicarakan dan ditafsirkan, cerita tentang hidup dan perjuangannya masih dikisahkan dari generasi ke generasi, dan namanya masih disebut dengan takzim.

Bung Karno, seperti dikatakan Ben Anderson, adalah manusia zamannya: masa pergerakan kebangsaan yang penuh lintasan pemikiran dan aksi dari seluruh dunia. Bung Karno mengagumi tokoh-tokoh besar yang mendahuluinya: Jose Rizal, pahlawan dan martir nasional Filipina; Sun Yat Sen, tokoh besar nasionalisme Tiongkok; Mahatma Gandhi, pencinta damai dari India; Kemal Pasha Attartuk, pembebas rakyat Turki.

Bung Karno juga belajar dari perjuangan tokoh-tokoh itu, dan dengan demikian merasa bahwa gerakan kemerdekaan Indonesia harus menjadi satu bagian dari gerakan emansipasi dari seluruh dunia jajahan. Di situ tertanam suatu kesadaran global yang belakangan berbunga dalam bentuk Konferensi Asia-Afrika dan gagasan New Emerging Forces (Nefos).

Dengan menggunakan bahasa Indonesia, retorika Bung Karno tampil sebagai pembentuk utama nasionalisme Indonesia. Lewat pidato-pidatonya yang menggelora, Bung Karno menunjukkan cintanya kepada sesama orang Indonesia, sekaligus mengajak rakyat mencintainya sebagai pemimpin bangsa. Ia adalah juru bicara paling terkemuka angkatannya, kaum pergerakan kebangsaan.

Baca juga :