Jakarta, Gesuri.id - Demokrasi Indonesia ibarat panggung besar yang lampunya terlalu terang, sehingga siapa pun yang pandai berteriak bisa tampak seperti pahlawan. Dalam hiruk-pikuk pemilu, kita sering dibuat sulit membedakan mana pemimpin sejati yang bekerja, dan mana orator yang sekadar menjual drama.
Di satu sisi, demokrasi memang melahirkan beberapa pemimpin yang berpikir jauh ke depanorang-orang yang paham bahwa jabatan adalah amanah, bukan trofi. Mereka bekerja dalam diam, tidak sibuk berselfie dengan hasil kerja bawahan, tidak mengeklaim kemenangan dari situasi yang kompleks. Mereka justru hadir ketika rakyat membutuhkan, bukan ketika kamera siap merekam. Keberadaan mereka jarang diiklankan, namun dampak keputusan mereka dapat dirasakan.
Namun, sisi gelap demokrasi Indonesia jauh lebih bising. Di sini, lahirlah para demagog: pemimpin yang tumbuh bukan dari integritas, melainkan dari kecakapan memainkan ketakutan, kemarahan, dan sentimen identitas. Mereka bicara seolah-olah mencintai rakyat, padahal yang mereka cintai hanya sorak sorai. Setiap persoalan rumit disederhanakan menjadi slogan kosong. Setiap kritik dianggap ancaman. Fakta dilipat-lipat seperti kertas origami untuk membentuk narasi yang menguntungkan diri sendiri.
Demagog tidak butuh solusi. Mereka hanya butuh panggung. Dan sayangnya, demokrasi kita sering menyediakan panggung itu dengan sukarela.
Ketika masyarakat belum punya kebiasaan menguji klaim, ketika media lebih memilih sensasi daripada verifikasi, dan ketika partai politik memprioritaskan elektabilitas di atas kompetensi, maka suara lantang mengalahkan kerja nyata. Kita pun terjebak pada politik pencitraan: pemimpin yang seakan-akan bekerja, seakan-akan peduli, seakan-akan berjuang.