Ikuti Kami

Demokrasi Indonesia: Arena Kebijaksanaan atau Pertunjukan Pencitraan?

Oleh: Dr. Yohanes Winarto, S.H., M.H., Fraksi PDI Perjuangan DPRD dan Ketua Badan Kehormatan DPRD Prov. Jateng.

Demokrasi Indonesia: Arena Kebijaksanaan atau Pertunjukan Pencitraan?
Dr. Yohanes Winarto, S.H., M.H., Fraksi PDI Perjuangan DPRD dan Ketua Badan Kehormatan DPRD Prov. Jateng.

Jakarta, Gesuri.id - Demokrasi Indonesia ibarat panggung besar yang lampunya terlalu terang, sehingga siapa pun yang pandai berteriak bisa tampak seperti pahlawan. Dalam hiruk-pikuk pemilu, kita sering dibuat sulit membedakan mana pemimpin sejati yang bekerja, dan mana orator yang sekadar menjual drama.

Di satu sisi, demokrasi memang melahirkan beberapa pemimpin yang berpikir jauh ke depan—orang-orang yang paham bahwa jabatan adalah amanah, bukan trofi. Mereka bekerja dalam diam, tidak sibuk berselfie dengan hasil kerja bawahan, tidak mengeklaim kemenangan dari situasi yang kompleks. Mereka justru hadir ketika rakyat membutuhkan, bukan ketika kamera siap merekam. Keberadaan mereka jarang diiklankan, namun dampak keputusan mereka dapat dirasakan.

Namun, sisi gelap demokrasi Indonesia jauh lebih bising. Di sini, lahirlah para demagog: pemimpin yang tumbuh bukan dari integritas, melainkan dari kecakapan memainkan ketakutan, kemarahan, dan sentimen identitas. Mereka bicara seolah-olah mencintai rakyat, padahal yang mereka cintai hanya sorak sorai. Setiap persoalan rumit disederhanakan menjadi slogan kosong. Setiap kritik dianggap ancaman. Fakta dilipat-lipat seperti kertas origami untuk membentuk narasi yang menguntungkan diri sendiri.

Demagog tidak butuh solusi. Mereka hanya butuh panggung. Dan sayangnya, demokrasi kita sering menyediakan panggung itu dengan sukarela.

Ketika masyarakat belum punya kebiasaan menguji klaim, ketika media lebih memilih sensasi daripada verifikasi, dan ketika partai politik memprioritaskan elektabilitas di atas kompetensi, maka suara lantang mengalahkan kerja nyata. Kita pun terjebak pada politik pencitraan: pemimpin yang seakan-akan bekerja, seakan-akan peduli, seakan-akan berjuang.

Maka terbentuklah ironi: pemimpin bijak kerap terpinggirkan karena tidak pandai menjual diri, sementara pemimpin demagog naik ke atas karena fasih memanipulasi emosi.

Demokrasi kita belum gagal, tetapi juga belum dewasa. Ia sedang diuji: apakah tetap menjadi wilayah bagi pemimpin yang mengutamakan kepentingan rakyat, atau berubah menjadi arena bagi mereka yang hanya mengejar kuasa?

Pilihan itu, seperti selalu dalam demokrasi, kembali pada rakyatnya. Jika kita hanya memilih berdasarkan rasa kagum sesaat, maka demagog akan terus lahir. Namun jika kita mulai mengutamakan rekam jejak, integritas, dan kapasitas, maka pemimpin bijak yang kini masih terdesak suara akan mendapatkan ruang untuk berdiri tegak.

Pada titik ini, pertanyaan sebenarnya bukan lagi “apakah demokrasi Indonesia melahirkan pemimpin bijak atau demagog?”, tetapi: “Pemimpin seperti apa yang selama ini kita biarkan naik ke panggung?”

 

Sumber: SeputarDesa.com

Quote