Fenomena Politik Kita di Hari-hari Ini

Oleh: Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto, Caleg DPR RI PDI Perjuangan Dapil Jabar VIII.
Sabtu, 09 Februari 2019 15:36 WIB Jurnalis - Nurfahmi Budi Prasetyo

IJTIMA ulama menyepakati bahwa ulama dihargai dan diberikan jalan ikut dalam pucuk kepemimpinan negara, dan Jokowi menaati ijtima ulama itu. Lalu dipilihnya KH Maruf Amin, sementara Prabowo lebih memilih Sandiaga Uno sebagai wakilnya dengan berbagai macam perhitungan politik dan tentunya logistik.

Beberapa saat kemudian, citra Sandiaga dipoles dan dipaksakan bahwa dia bagian dari Santri, lalu diangkat lebih tinggi lagi Sandiaga itu ulama.

Banyak ulama yang punya ilmu pengetahuan keagamaan tinggi beralih dukungan ke Jokowi seperti TGB, karena mereka melihat paradoks yang ada dalam diri Prabowo. Dimana Prabowo menggunakan Ijtima Ulama sekedar lisensi politik bukan esensi dalam berpolitik.

Ketika banyak ulama berbondong bondong berpihak pada Jokowi, digunakanlah manuver yang berani dari pihak Prabowo, digunakan orang filsafat sekuler macam Rocky Gerung untuk mencari alasan mengunci alam akal pikir masyarakat, soal ini juga aneh karena esensi dari Filsafat adalah berpihak pada kebenaran universal, pada hakikat kebenaran, dan ketika itu digunakan sebagai gimmick sebagai alat pemihakan yang didasari kesadaran palsu hanya untuk elektoral politik, maka esensi filsafat itu hilang seketika.

Bahkan Rocky Gerung dalam jejak digital menggunakan Pancasila sebagai alat pembenaran terhadap ruang Atheis, inipun hal aneh tapi seakan diterima sebagai bagian pendapat nalar publik karena semua terkunci dalam bahasa bahasa keberpihakan politik, karena setiap orang Indonesia pun tau, esensi dari Pancasila, adalah satu Sila menjiwai Sila yang lain, tak boleh terputus, dimana sila pertama situasi batin sampai sempurna sila ke 5 keadilan sosial yang intinya dari kesempurnaan penataan empat sila sebelumnya.

Baca juga :