Jakarta, Gesuri.id Di gang sempit kawasan Cipinang Melayu, aroma rendang dari rumah warga Melayu bercampur dengan harumnya bumbu pecel dari kedai keluarga Jawa, sementara suara azan dari masjid berdampingan dengan lonceng gereja yang mengumandangkan panggilan ibadah. Ini adalah wajah Jakarta Timur sebuah wilayah yang menjadi rumah bagi ratusan ribu orang dari berbagai etnis dan agama, di mana keragaman bukan hanya sekadar kenyataan, tetapi juga kehidupan sehari-hari yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila sebagai salah satu dari 4 Pilar MPR yang berjasa mencegah konflik dan menjaga keharmonisan.
Anggota MPR RI Fraksi PDI Perjuangan Putra Nababan menyebut sebagai salah satu wilayah dengan kerapatan penduduk tertinggi di ibu kota, Jakarta Timur menghadapi tantangan tersendiri dalam mengelola perbedaan. Dari kawasan pemukiman padat di Matraman hingga kawasan perdagangan ramai di Jatinegara, setiap sudut wilayah ini menyimpan potensi perselisihan yang bisa muncul akibat perbedaan latar belakang. Namun, selama bertahun-tahun, konflik skala besar jarang terjadi dan di balik hal itu adalah peran aktif Pancasila yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, katanya Senin 15/12 di Jakarta.
Baca:GanjarPranowo Tegaskan Marsinah Lebih Layak
Menurut Putra, contoh nyata dapat ditemui di Kelurahan Kampung Melayu, di mana sebuah kompleks pemukiman menjadi rumah bagi lebih dari 20 etnis berbeda. Beberapa tahun lalu, muncul kekhawatiran ketika rencana pembangunan tempat ibadah baru dari sebuah agama minoritas mengundang protes dari sebagian warga sekitar. Sebelum situasi memanas, tokoh masyarakat lokal yang terdiri dari pemimpin agama, ketua RT/RW, dan perwakilan dari berbagai etnis segera mengadakan pertemuan darurat.
Dengan mengacu pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mereka menyampaikan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menjalankan keyakinannya, selama tidak mengganggu hak orang lain. Melalui musyawarah yang berdasarkan sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, kedua belah pihak mencapai kesepakatan: tempat ibadah dapat dibangun dengan desain yang menyatu dengan lingkungan sekitar, dan jadwal ibadah disesuaikan agar tidak bertabrakan dengan aktivitas ibadah dari tempat suci lain. Saat ini, tempat ibadah tersebut menjadi bukti bahwa perbedaan keyakinan bisa hidup berdampingan dengan damai, katanya.