Di Surabaya, Megawati memang maju dan bertarung memperebutkan podium pemimpin partai politik yang selama tahun 1993 merebut perhatian (massa). Tekad itu membulat sudah, tidak lonjong atau kotak. Bulat. Sebagaimana hanya dua calon yang paling menonjol meraih podium di Surabaya: Megawati Soekarnoputri vs Budi Hardjono. Usia Megawati saat itu 46 tahun.
Yang bingung tentu saja pemerintah. Juga, jenderal-jenderal di Jakarta dan di daerah. Melihat dukungan kepada Megawati menguat di akar rumput, mau tidak mau pemerintah via para jenderal merapatkan barisan untuk memberi dukungan kepada figur yang mudaratnya dipandang kecil terhadap kekuasaan pembangunanisme Soeharto.
Jalan paling rasional adalah mendukung Hardjono. Padahal, sosok ini kerap bersuara lantang di parlemen ketimbang Mega yang hening.
Bagi pemerintah, sevokal-vokalnya Budi Hardjono, tetaplah dianggap sebagai berisik yang biasa dan tidak berbahaya. Berbeda dengan diam dan heningnya Mega yang dipandang sebagai magma. Panasnya yang membara bukan di permukaan, melainkan dalam perut bumi pertiwi. Kemunculan Mega jelas di luar skenario. Terutama, kebiasaan partai ini sejak fusi pada 1973. Skenario yang menjadi adab politik adalah calon yang menjadi pemimpin partai mestilah yang direstui. Paling tidak, figur yang bisa dipegang.