Megawati, Honoris Causa dan Kejeniusan Dalam Diam

Ada kontemplasi yang mendalam dari dalam diri Megawati mengenai bangsa Indonesia pasca Reformasi.
Senin, 12 Maret 2018 13:10 WIB Jurnalis - Anton DH Nugrahanto


TAK ada yang lebih di hari hari ini melihat tokoh politik sebagai sebuah mozaik yang hidup selain Megawati, dalam tubuhnya sejarah bercerita tentang Indonesia. Ia lahir di tengah situasi kemelut penyerbuan pasukan Belanda ke ibukota RI di Yogyakarta, ia saksi hidup atas naik turunnya tensi politik, ia melihat Bapaknya ditembaki pada peristiwa Cikini 1957, kemudian ia dijadikan Bapaknya sebagai Gadis Negara sebagai simbol politik diplomasi, di saat saat kelam ia menjadi saksi penderitaan Bapaknya dikhianati banyak orang, dalam tangisan kehilangan Bapaknya di tahun 1970 Megawati menyaksikan jutaan rakyat menangis kehilangan Bung Karno-nya, kemudian ia melalui masa berat dalam kehidupan pribadinya, dan sontak membuat kaget banyak orang pada medio tahun 1980-an ia berdiri head to head melawan Suharto, seorang Ibu Rumah Tangga penyuka anggrek yang gemar memasak di dapur berhadapan dengan rezim paling kuat di Asia, Megawati adalah oposan terkuat Suharto dalam pertarungan penuh intrik selama 12 tahun (1986-1998), ia menjadi Wapres lalu menjadi Presiden RI. Terbukti Orde Baru yang menghentak hentak itu tersungkur dibawah kelembutan seorang Ibu...

Di masanya kekacauan reformasi dibenahi dengan tekun untuk mengarahkan perbaikan perbaikan struktur pemerintahan. Ia juga meletakkan landasan landasan demokrasi untuk menyongsong pemilihan langsung. Selama 10 tahun menjadi oposan berhadapan dengan rezim SBY, ia teguh memilih menjadi oposisi, ia membangun PDI Perjuangan sebagai sebuah Partai yang memiliki karakter, sebagai Partai yang diarahkan menjadi pusat kelahiran para pemimpin pemimpin di tengah rakyat. Dan terbukti di hari ini, PDI Perjuangan-lah yang memiliki jaringan politik terkuat serta produktif menghasilkan pemimpin pemimpin yang membanggakan di seluruh penjuru Republik.

Ketika dunia Internasional sedang memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2018, Megawati mendapatkan anugerah Doktor Honoris Causa, dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri, sebagai buah pengakuan akademik bahwa Megawati memiliki kemampuan Kenegarawanan, utamanya soal Politik dan Pemerintahan. Hal ini sebagai simbol perempuan Indonesia yang mempunyai reputasi paling tinggi dalam bidang politik dan pemerintahan, sebuah reputasi yang bisa menjadi inspirasi kebangkitan kaum perempuan di Indonesia untuk menunjukkan kemampuannya.

Megawati adalah perempuan paling unik dalam sejarah perpolitikkan di Indonesia, ia mampu membangun Partai terkuat sepanjang sejarah Republik ini berdiri, ia juga mampu secara telaten memimpin negeri ini dengan langkah mulus tanpa gejolak. Di satu sisi ia tetap teguh menjadi penjaga Ideologi Sukarno tanpa jeda.

Sejarah politik Megawati dibagi dalam tiga bagian besar : Masa Belajar, Kebangkitan dan Kejayaan. Megawati tumbuh dan berkembang sebagai anak perempuan sulung Bung Karno, ia langsung belajar dari Bapaknya. Sudah menjadi kebiasaan Bung Karno selalu sarapan dengan anak-anaknya, hal yang pertama kali diajarkan oleh Bung Karno adalah Mencintai tanah air. Filsafat cinta tanah air dalam konteks ke-Indonesiaan merupakan salah satu prasyarat penting seseorang tumbuh menjadi Nasionalis, seseorang bergerak dan berpikir dalam kerangka Nasionalis yang kuat. Bung Karno bercerita di depan anak anaknya, bagaimana Republik ini harus dicintai, melihat Indonesia tidak sekedar ruang hidup, tapi Indonesia dalam sudut yang lain, dalam romantikanya, hidup dalam nalar rakyatnya yang rindu kebesaran sebuah bangsa, kerukunannya, mencintai sesuatu yang beragam, sebuah Indonesia yang dimaknai dengan perasaan amat dalam. Kelak di tahun 2013 ajaran Bung Karno soal mencintai tanah air ini, diucapkan Megawati dalam satu kalimat di acara Kick Andy : Melihat Indonesia Raya dengan Mata Hati. Sebuah tanah air yang bukan saja ruang materiil hidup, tapi immateriil, sentuhan batin.

Baca juga :