SELAMA 32 tahun berkuasa, Presiden Soeharto dikenal sebagai pemimpin yang membawa stabilitas ekonomi dan pembangunan. Namun di balik citra tersebut, rezim Orde Baru justru menanamkan akar kuat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang kemudian menjadi warisan paling kelam dalam sejarah politik Indonesia modern.
Istilah Soeharto Raja KKN bukan sekadar ejekan, melainkan refleksi atas sistem kekuasaan yang terpusat di tangannya dan keluarga Cendana. Bahkan, negara secara resmi mengakui keterlibatan Soeharto dalam praktik tersebut melalui Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dalam ketetapan itu, nama Soeharto disebut secara eksplisit sebagai pihak yang harus ditindak.
Tuduhan dan Fakta Hukum: Soeharto dan Jejak Korupsi Besar
Pasca kejatuhannya tahun 1998, Soeharto sempat ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada tahun 2000. Dugaan itu berkaitan dengan penyalahgunaan dana dari tujuh yayasan sosial yang dipimpinnya, seperti Yayasan Supersemar, Yayasan Dharmais, dan Yayasan Dakab, dengan total kerugian negara mencapai US$ 1535 miliar.
Dana yang seharusnya untuk pendidikan dan sosial justru dialihkan untuk kepentingan bisnis keluarga serta kroni. Berdasarkan putusan pengadilan, Yayasan Supersemar terbukti menyalurkan dana ke berbagai perusahaan swasta, seperti Bank Duta, Sempati Air, PT Kiani Lestari, hingga kelompok usaha Kosgoro.