Ikuti Kami

Soeharto, “Raja KKN” dari Orde Baru: Ketika Pancasila Jadi Tameng Kekuasaan

Istilah “Soeharto Raja KKN” bukan sekadar ejekan, melainkan refleksi atas sistem kekuasaan yang terpusat di tangannya dan keluarga Cendana.

Soeharto, “Raja KKN” dari Orde Baru: Ketika Pancasila Jadi Tameng Kekuasaan
Warga berunjuk rasa menolak pemeberian gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto di depan kantor Kementerian Sosial (Kemensos), Jakarta,Kamis (15/5/2025). ANTARA FOTO/Reno Esnir/app/bar

SELAMA 32 tahun berkuasa, Presiden Soeharto dikenal sebagai pemimpin yang membawa stabilitas ekonomi dan pembangunan. Namun di balik citra tersebut, rezim Orde Baru justru menanamkan akar kuat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang kemudian menjadi warisan paling kelam dalam sejarah politik Indonesia modern.

Istilah “Soeharto Raja KKN” bukan sekadar ejekan, melainkan refleksi atas sistem kekuasaan yang terpusat di tangannya dan keluarga Cendana. Bahkan, negara secara resmi mengakui keterlibatan Soeharto dalam praktik tersebut melalui Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dalam ketetapan itu, nama Soeharto disebut secara eksplisit sebagai pihak yang harus ditindak.

Tuduhan dan Fakta Hukum: Soeharto dan Jejak Korupsi Besar

Pasca kejatuhannya tahun 1998, Soeharto sempat ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada tahun 2000. Dugaan itu berkaitan dengan penyalahgunaan dana dari tujuh yayasan sosial yang dipimpinnya, seperti Yayasan Supersemar, Yayasan Dharmais, dan Yayasan Dakab, dengan total kerugian negara mencapai US$ 15–35 miliar.

Dana yang seharusnya untuk pendidikan dan sosial justru dialihkan untuk kepentingan bisnis keluarga serta kroni. Berdasarkan putusan pengadilan, Yayasan Supersemar terbukti menyalurkan dana ke berbagai perusahaan swasta, seperti Bank Duta, Sempati Air, PT Kiani Lestari, hingga kelompok usaha Kosgoro.

Pada tahun 2018, Yayasan Supersemar akhirnya diwajibkan mengembalikan Rp241 miliar ke kas negara. Namun, Soeharto sendiri tidak pernah diadili hingga akhir hayatnya pada 2008 karena alasan kesehatan.

Kolusi: Simbiosis Pejabat dan Pengusaha

Di masa Orde Baru, kolusi menjadi bagian dari sistem pemerintahan. Pejabat negara dan pengusaha saling bergantung dalam jaringan kekuasaan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Banyak proyek raksasa nasional hanya bisa dimenangkan oleh perusahaan yang memiliki kedekatan dengan keluarga Cendana atau elite militer. Contohnya Badan Penyangga dan Pengolahan Cengkeh (BPPC) milik Tommy Soeharto, yang sempat terjerat kasus korupsi senilai Rp175 miliar.

Majalah Time dan harian The Independent pernah menyoroti skala korupsi ini secara internasional, menyebut Soeharto sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia, dengan kekayaan pribadi yang ditaksir mencapai US$15 miliar.

Nepotisme: Keluarga Cendana dan Politik Kekuasaan

Nepotisme di era Soeharto tampak jelas dari posisi strategis yang dipegang keluarganya. Putrinya, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), sempat menjabat Menteri Sosial, sementara anak-anak lainnya mengendalikan berbagai perusahaan dan proyek negara.

Keluarga Cendana menguasai sektor-sektor vital mulai dari infrastruktur, otomotif, hingga media. Kekuasaan ekonomi yang tersentralisasi di tangan keluarga presiden membuat sistem ekonomi menjadi timpang dan menciptakan kesenjangan sosial yang mendalam.

Demokrasi Pancasila: Tameng Kekuasaan Orde Baru

Soeharto memperkenalkan sistem “Demokrasi Pancasila” sebagai landasan politik negara. Dalam praktiknya, Pancasila dijadikan alat legitimasi untuk menekan oposisi dan membungkam kritik.

Pemerintah memaksakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai bentuk indoktrinasi ideologis. Partai politik dilebur menjadi hanya tiga—PPP, PDI, dan Golkar—dengan Golkar selalu menang dalam enam pemilu berturut-turut dari 1971 hingga 1997.

Kebebasan berekspresi dan berpendapat dikekang. Mereka yang mengkritik pemerintah bisa ditangkap dengan tuduhan anti-Pancasila.

Warisan KKN dan Reformasi

Krisis ekonomi 1998 yang mengguncang Indonesia menjadi titik balik. Korupsi, kolusi, dan nepotisme terbukti telah melemahkan fondasi ekonomi nasional. Setelah Soeharto lengser, semangat reformasi melahirkan berbagai lembaga antikorupsi, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk melalui UU No. 30 Tahun 2002 pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Namun, warisan KKN Orde Baru tidak serta-merta hilang. Banyak kroni Soeharto masih menikmati hasil kekuasaan masa lalu, sementara beberapa kasus korupsi besar belum sepenuhnya tuntas.

Kontroversi Penghapusan Nama Soeharto dari TAP MPR

Pada tahun 2024, MPR mencabut nama Soeharto dari TAP MPR XI/1998 dengan alasan “yang bersangkutan telah meninggal dunia.” Langkah ini menimbulkan perdebatan luas.

Sebagian pihak menilai keputusan itu sebagai upaya pemutihan sejarah dan membuka jalan bagi usulan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto—sebuah wacana yang berulang kali diajukan, termasuk oleh Partai Golkar.

Namun, banyak kalangan menolak keras. Mereka menilai bahwa sebelum berbicara soal gelar pahlawan, negara harus lebih dulu menuntaskan pelanggaran HAM berat, skandal korupsi, dan praktik KKN sistemik yang terjadi di bawah rezim Orde Baru.

Penutup: Antara Ingatan dan Pengampunan

Meski Soeharto telah tiada, perdebatan tentang warisannya tetap hidup. Ia dikenang sebagian orang sebagai “Bapak Pembangunan”, namun juga dicatat sejarah sebagai simbol otoritarianisme dan KKN terbesar dalam sejarah Indonesia.

Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepadanya bukan hanya soal penghormatan, tetapi juga ujian bagi bangsa ini — apakah kita benar-benar telah belajar dari masa lalu, atau justru tengah melupakannya.

Referensi:

https://www.antikorupsi.org/id/article/depth-analysis-soeharto-korupsi-dan-gelar-pahlawan-nasional

https://www.hukumonline.com/berita/a/kasus-kkn-soeharto-akan-dilimpahkan-ke-pengadilan-hol92/

https://ppotoda.org/2024/01/12/konsepsi-nepotisme-dalam-kekuasaan-dinasti-politik-di-indonesia/

https://news.detik.com/berita/d-3930418/antara-soeharto-supersemar-dan-bank-duta

https://www.zenius.net/blog/korupsi-kolusi-nepotisme/

Quote