Merevitalisasi Isu Keanekaragaman Hayati

Oleh : E. Y. Wenny Astuti Achwan, Caleg PDI Perjuangan DPR RI, Dapil NTB 2.
Sabtu, 29 Desember 2018 15:22 WIB Jurnalis - Effatha Gloria V.G. Tamburian

Istilah keanekaragaman hayati (biodiversity) pertama kali digunakan di Dewan Riset Nasional AS pada tahun 1985, ketika sebuah forum diselenggarakan untuk membahas masalah mengenai hilangnya apa yang kemudian dinamakan Keanekaragaman Hayati.

Konvensi Keanekaragaman Hayati Global mendefinisikan subyeknya sebagai variabilitas di antara organisme hidup di tiga tingkat yang berbeda: di dalam spesies, antar spesies, dan ekosistem.

Keanekaragaman hayati tingkat pertama adalah keragaman di dalam spesies, artinya berada pada tingkat gen. Spesies terdiri dari individu. Dalam kajian sejarah baru-baru ini, banyak spesies telah berkurang menjadi jauh lebih kecil.

Era pra-Columbus, 25 juta bison berkeliaran di dataran Amerika Utara, namun pada akhir 1880-an lebih dari 100 masih berada di alam bebas. Meskipun dilakukan intervensi konservasi sehingga jumlah bison meningkat sampai ratusan ribu, keragaman genetik yang hilang tidak dapat dipulihkan.

Baca juga :