Istilah keanekaragaman hayati (biodiversity) pertama kali digunakan di Dewan Riset Nasional AS pada tahun 1985, ketika sebuah forum diselenggarakan untuk membahas masalah mengenai hilangnya apa yang kemudian dinamakan Keanekaragaman Hayati.
Konvensi Keanekaragaman Hayati Global mendefinisikan subyeknya sebagai variabilitas di antara organisme hidup di tiga tingkat yang berbeda: di dalam spesies, antar spesies, dan ekosistem.
Keanekaragaman hayati tingkat pertama adalah keragaman 'di dalam spesies', artinya berada pada tingkat gen. Spesies terdiri dari individu. Dalam kajian sejarah baru-baru ini, banyak spesies telah berkurang menjadi jauh lebih kecil.
Era pra-Columbus, 25 juta bison berkeliaran di dataran Amerika Utara, namun pada akhir 1880-an lebih dari 100 masih berada di alam bebas. Meskipun dilakukan intervensi konservasi sehingga jumlah bison meningkat sampai ratusan ribu, keragaman genetik yang hilang tidak dapat dipulihkan.
Keanekaragaman hayati tingkat kedua adalah keragaman 'antar spesies'. Inilah definisi keanekaragaman hayati yang paling kita kenal yaitu bermacam-macam hewan, tumbuhan dan mikroorganisme yang fantastis di dunia.
Menurut laporan tahun 2011, dari 9 juta atau lebih spesies total yang diperkirakan hidup di Bumi, yang telah dideskripsikan sekitar 1,2 juta sehingga kita memiliki pengetahuan yang baik tentang tanaman, burung dan mamalia.
Namun di sisi lain, di laut dalam masih terdapat sekitar 90% spesies yang tidak diketahui. Spesies tidak merata di seluruh bumi. Ada beberapa hipotesis terhadap apa yang ada di balik fakta ini, namun polanya jelas: kekayaan spesies meningkat dari kutub ke khatulistiwa.
Keanekaragaman hayati tingkat terakhir adalah keragaman ‘ekosistem'. Spesies berinteraksi satu sama lain dan berhubungan dengan sinar matahari, udara, tanah dan air bersama-sama membentuk ekosistem. Bumi kita menyimpan banyak ekosistem, dari tundra di Arktik ke hutan hujan di tropis, dari muara ke zona tengah di laut dalam.
Menggambarkan zona ini tidak selalu mudah. Ekosistem mungkin sama besarnya seperti Great Barrier Reef, atau sama kecilnya seperti komunitas spon, alga dan cacing yang ada di shell kepiting.
Meskipun ada pembagian yang jelas antara hutan pantai dan laut, tidak ada titik yang jelas di mana hutan berakhir dan di mana pula padang rumput dimulai.
Spesies dalam ekosistem bersaing satu sama lain untuk mengakses sumber daya seperti cahaya dan makanan, tetapi mereka juga saling bergantung satu sama lain. Sebanyak 87% tanaman berbunga di dunia diserbuki oleh hewan.
Terumbu karang menyediakan tempat tinggal bagi 25% kehidupan laut. Bakteri mendaur ulang benda mati menjadi nitrat, yang merupakan satu-satunya senyawa yang dibutuhkan tanaman untuk dapat membangun protein.
Ekosistem menyediakan 'layanan' yang mendukung kehidupan, baik di dalam maupun di luar ekosistem. Manusia tidak bisa hidup tanpa layanan ini, yang meliputi udara bersih, air minum, penguraian limbah, dan penyerbukan tanaman pangan.
Perubahan Iklim dan Penggunaan Lahan adalah Ancaman Terbesar
Seorang astronom dan pakar pemanasan global James Hansen mengatakan bahwa hampir setengah dari semua spesies dapat punah pada tahun 2100 karena perubahan iklim, penggunaan hidrokarbon yang “tidak berkelanjutan”, pertumbuhan populasi manusia dan perkembangan ekonomi.
Pada kesempatan lain, peneliti ekologi Dr. Craig Loehle menjelaskan bahwa dari 191 spesies burung dan mamalia yang diketahui telah punah sejak tahun 1500, 95% berada di pulau-pulau, tempat di mana kerusakan dibuat manusia, predator dan penyakit yang diperkenalkan manusia. Sedangkan di benua, tercatat enam burung dan tiga mamalia telah punah dalam kurun waktu yang sama.
Studi lain oleh Dr. Tim Newbold, yang diterbitkan 20 Juni 2018 di Prosiding Royal Society B, menunjukkan bahwa efek perubahan iklim pada komunitas ekologis diperkirakan cocok atau melebihi penggunaan lahan dalam pengaruhnya terhadap keanekaragaman komunitas vertebrata pada tahun 2070.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa upaya untuk meminimalkan dampak manusia terhadap keanekaragaman hayati global sekarang ini harus mempertimbangkan penggunaan lahan dan perubahan iklim, bukan hanya berfokus pada satu di atas yang lain, karena efek gabungan ini memiliki dampak negatif yang signifikan pada ekosistem global.
Perubahan iklim akan memiliki efek yang meningkat pesat pada struktur komunitas ekologis global selama beberapa dekade mendatang, dengan amfibi dan reptil secara signifikan lebih terpengaruh daripada burung dan mamalia.
Laju perubahan iklim melampaui hilangnya komunitas vertebrata yang disebabkan oleh penggunaan lahan untuk pertanian dan pemukiman, yang diperkirakan telah menyebabkan hilangnya lebih dari 10% keanekaragaman hayati dari komunitas ekologis.
Efek perubahan iklim bervariasi di seluruh dunia. Hutan hujan tropis yang telah mengalami tingkat konversi yang lebih rendah untuk penggunaan oleh manusia daripada daerah lain, kemungkinan akan mengalami kerugian besar sebagai akibat dari perubahan iklim.
Daerah beriklim sedang, yang paling terkena dampak penggunaan lahan, mengalami perubahan keanekaragaman hayati yang relatif kecil dari perubahan iklim di masa depan, sementara padang rumput tropis dan sabana diperkirakan akan mengalami kerugian besar sebagai akibat dari perubahan iklim dan penggunaan lahan.
Menurunnya Minat dan Perhatian Terhadap Keanekaragaman Hayati
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Biodiversity and Conservation, Andreas Troumbis, direktur Laboratorium Biodiversity Management di University of the Aegean, menganalisis frekuensi pencarian di Google untuk kata "biodiversity" antara 2004 dan 2014.
Pada kerangka waktu tersebut, pencarian biodiversity di Google muncul kira-kira sepertiga lebih jarang daripada saat awal trending biodiversity (sekitar 1985). Ini tampaknya bukan anomali statistik, tulis Troumbis. Garis tren mewakili sesuatu yang nyata.
Tampaknya minat publik terhadap keanekaragaman hayati telah menurun bahkan ketika keanekaragaman hayati itu sendiri semakin terancam.
Alih-alih menggambarkan kemunduran yang stabil, tren tersebut mungkin merupakan potret perhatian yang berfluktuasi, menurun ketika terjadi resesi ekonomi dan naik ketika ekonomi membaik. Bukannya orang tidak terlalu peduli dengan keanekaragaman hayati sekarang daripada sebelumnya, melainkan cenderung tidak menjadi perhatian langsung.
Hal ini mungkin terjadi karena orang lebih perduli terhadap pekerjaan dan pensiun serta stabilitas sosial dan politik, yang semuanya menjadi prioritas utama pada saat kondisi ekonomi memburuk.
Keanekaragaman hayati sebagai konsep formal dan prinsip pengorganisasian yang baru dimulai pada 1985-an adalah konstruksi yang sangat kompleks, teknokratis, dan politis. Terlalu rumit bagi warga rata-rata untuk menangkap pesan maupun menetapkan nilai dan utilitasnya.
Oleh karenanya diperlukan revitalisasi untuk menggemakan keanekaragaman hayati melalui penemuan cara baru dalam membicarakan secara menarik dan aktual.
Rekomendasi
Kegagalan dalam membatasi pertumbuhan penduduk secara memadai, menilai kembali peran ekonomi yang berpijak pada pertumbuhan, mengurangi gas rumah kaca, memberi insentif energi terbarukan, melindungi habitat, memulihkan ekosistem, mengurangi polusi, menghentikan defaunisasi, dan membatasi spesies asing yang invasif, semuanya adalah bukti bahwa manusia tidak mengambil langkah yang mendesak yang diperlukan untuk melindungi biosfer yang terancam.
Beberapa Langkah Beragam dan Efektif yang Dapat Dilakukan Manusia Secara Berkesinambungan Adalah Meliputi Hal-hal Berikut:
(a) Memprioritaskan pemberlakuan cadangan yang didanai dan dikelola dengan baik untuk proporsi yang signifikan dari terestrial dunia, kelautan, air tawar, dan habitat udara;
(b) Memelihara layanan ekosistem alam dengan menghentikan konversi penggunaan lahan hutan, padang rumput, dan habitat asli lainnya;
(c) Memulihkan komunitas tanaman asli pada skala besar, terutama lansekap hutan;
(d) Membangun kembali daerah dengan spesies asli, terutama predator puncak, serta memulihkan proses ekologi dan dinamika;
(e) Mengembangkan dan mengadopsi instrumen kebijakan yang memadai untuk memperbaiki defaunisasi, krisis perburuan liar, eksploitasi dan perdagangan spesies yang terancam punah;
(f) Mengurangi limbah makanan melalui pendidikan dan infrastruktur yang lebih baik;
(g) Mempromosikan perubahan pola makan ke sebagian besar makanan nabati;
(h) Mengurangi tingkat kesuburan lebih jauh dengan memastikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki akses terhadap pendidikan dan layanan keluarga berencana secara sukarela, terutama bila sumber daya semacam itu masih kurang;
(i) Meningkatkan pendidikan alam terbuka untuk anak-anak, serta keterlibatan masyarakat secara keseluruhan dalam apresiasi alam;
(j) Melakukan divestasi investasi dan pembelian moneter untuk mendorong perubahan lingkungan yang positif;
(k) Merancang dan mempromosikan teknologi hijau baru dan secara besar-besaran mengadopsi sumber energi terbarukan sambil menghentikan subsidi untuk produksi energi dari bahan bakar fosil;
(l) Merevisi ekonomi untuk mengurangi ketidaksetaraan kekayaan dan memastikan bahwa harga, pajak, dan sistem insentif memperhitungkan biaya riil yang diterapkan pola konsumsi terhadap lingkungan kita;
(m) Memperkirakan ukuran populasi manusia yang dapat dipertahankan secara ilmiah dan untuk jangka panjang sementara mengumpulkan Negara-negara dan para pemimpin untuk mendukung tujuan vital tersebut.
Untuk mencegah kesengsaraan yang meluas dan bencana hilangnya keanekaragaman hayati, umat manusia harus mempraktekkan alternatif yang lebih ramah lingkungan. Kita harus mengenali, dalam kehidupan sehari-hari dan di institusi pemerintahan, bahwa Bumi dengan seluruh hidupnya adalah satu-satunya rumah kita.
“Look closely at nature. Every species is a masterpiece, exquisitely adapted to the particular environment in which it has survived. Who are we to destroy or even diminish biodiversity?” – E.O. Wilson
SELAMAT HARI KEANEKARAGAMAN HAYATI
29 DESEMBER 2018