Redenominasi Rupiah 1.000:1, Peluang Modernisasi atau Risiko Ketergesa-gesaan?

Oleh: Dr. Harris Turino, S.T., S.H., M.Si., M.M. - Kapoksi PDI Perjuangan Komisi XI DPR RI.
Senin, 10 November 2025 11:25 WIB Jurnalis - Heru Guntoro

Jakarta, Gesuri.id - Wacana redenominasi rupiah 1.000:1 yang kembali disampaikan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menempatkan Indonesia pada persimpangan kebijakan yang tidak sederhana.

Di satu sisi, pemerintah menargetkan kerangka regulasi redenominasi rampung sekitar 20262027. Di sisi lain, implementasinya menuntut kesiapan fiskal, moneter, teknis, dan psikologis masyarakat yang tidak bisa setengah hati. Sebagai Anggota Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan negara, saya memandang bahwa keberhasilan redenominasi ditentukan bukan oleh banyaknya nol yang dihapus, melainkan oleh seberapa kuat fondasi makro dan seberapa disiplin proses transisinya.

Secara makro, Indonesia memang sedang berada pada lingkungan yang relatif kondusif. Inflasi IHK per Oktober 2025 berada di 2,86% (yoy), dalam rentang yang aman untuk kebijakan yang sangat sensitif secara psikologis. Bank Indonesia juga menegaskan bahwa stabilitas harga terjaga. Proyeksi IMF menempatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 20252026 pada kisaran moderat, sekitar 4,9%, sementara inflasi diperkirakan tetap rendah. Rasio utang pemerintah sekitar 40% PDB, masih jauh dari batas risiko internasional, walaupun DSRnya juga sudah mencapai kisaran 40%. Kondisi ini menyediakan ruang bagi pemerintah untuk mempertimbangkan redenominasi tanpa tekanan makro yang ekstrem.

Baca:GanjarPranowo Tekankan Pentingnya Kritik

Namun pengalaman negara lain memberi pelajaran bahwa stabilitas jangka pendek belum cukup. Turki berhasil memangkas enam nol pada 2005 karena proses stabilisasi inflasinya kuat, kredibilitas otoritas moneter tinggi, dan transisi dilakukan bertahap melalui mata uang sementara (YTL) sebelum kembali ke TL. Romania dan Ghana menunjukkan bahwa edukasi publik yang intensif dan masa harga ganda yang cukup panjang mencegah kekacauan persepsi harga. Sebaliknya, Zimbabwe membuktikan bahwa redenominasi tanpa disiplin fiskal, tanpa stabilisasi inflasi, dan tanpa kepercayaan publik hanya menimbulkan krisis berulang. Kesimpulan internasionalnya jelas, yaitu redenominasi bukan obat masalah fiskal atau inflasi. Ia hanya berhasil ketika penyakit dasarnya sudah sembuh.

Baca juga :