Andil Gus Dur dan Megawati Jadikan Imlek Hari Libur Nasional

PDI Perjuangan menginginkan seluruh bangsa Indonesia mengamalkan dan menjalankan agama dan kepercayaan dengan cara berkeadaban
Selasa, 05 Februari 2019 14:20 WIB Jurnalis - Nurfahmi Budi Prasetyo

MASYARAKAT keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967 yang selama era Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, masyarakat etnis Tionghoa dilarang merayakan Imlek secara terbuka.

Dalam Ipres No 14/1967 itu, Presiden Soeharto menginstruksikan agar etnis Tionghoa yang merayakan pesta agama atau adat istiadat tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.

Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003.

Sebagai Presiden RI yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan, dasar Megawati Soekarnoputri untuk menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional sama dengan Hari Raya umat beragama lain di Indonesia merupakan kebijakan yang berdasarkan prinsip Pancasila dan menjunjung tinggi Kebhinekaan.

Presiden Megawati Soekarnoputri ingin nilai-nilai Pancasila tetap dipegang teguh dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Kita ketahui, masyarakat Tionghoa di Indonesia selama zaman Orde Baru mengalami diskriminasi oleh rezim. Seakan tidak ada tempat bagi mereka untuk berpolitik. Menjadi pejabat atau kepala daerah.

Baca juga :