Ikuti Kami

Andil Gus Dur dan Megawati Jadikan Imlek Hari Libur Nasional

PDI Perjuangan menginginkan seluruh bangsa Indonesia mengamalkan dan menjalankan agama dan kepercayaan dengan cara berkeadaban

Andil Gus Dur dan Megawati Jadikan Imlek Hari Libur Nasional
Ilustrasi keputusan Imlek jadi Hari Libur Nasional - Foto: sketsagram.com (Twitter)

MASYARAKAT keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967 yang selama era Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, masyarakat etnis Tionghoa dilarang merayakan Imlek secara terbuka. 

Dalam Ipres No 14/1967 itu, Presiden Soeharto menginstruksikan agar etnis Tionghoa yang merayakan pesta agama atau adat istiadat "tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.

Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003.

Sebagai Presiden RI yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan, dasar Megawati Soekarnoputri untuk menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional sama dengan Hari Raya umat beragama lain di Indonesia merupakan kebijakan yang berdasarkan prinsip Pancasila dan menjunjung tinggi Kebhinekaan.

Presiden Megawati Soekarnoputri ingin nilai-nilai Pancasila tetap dipegang teguh dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Kita ketahui, masyarakat Tionghoa di Indonesia selama zaman Orde Baru mengalami diskriminasi oleh rezim. Seakan tidak ada tempat bagi mereka untuk berpolitik. Menjadi pejabat atau kepala daerah.

Bagi PDI Perjuangan, perbedaan suku, agama, dan ras adalah khazanah bagi kebudayaan Bangsa Indonesia. Imlek menjadi jembatan persaudaraan sesama anak bangsa untuk merekatkan semangat gotong royong dan kebangsaan kita dalam bingkai NKRI.

Ibu Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri selalu mengajak kepada bangsa Indonesia untuk menjadi Pancasilais sejati yang menjunjung tinggi jati diri bangsa. Dimana bangsa kita yang beragam dan multikultural bisa harmoni dengan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila

Komitmen PDI Perjuangan terhadap Pancasila dan mendorong terjadinya kerukunan umat beragama tidak perlu diragukan lagi. Hal tersebut dibuktikan dengan Amanah Kongres ke IV tahun 2015 di Bali, PDI Perjuangan menegaskan dalam poin ke 32: Negara wajib menjamin bekerjanya prinsip kesetaraan dan kesatuan dalam pluralism dalam berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan prinsip ke-Tuhan-an yang ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama.

Selain itu, PDI Perjuangan menginginkan seluruh bangsa Indonesia mengamalkan dan menjalankan agama dan kepercayaan dengan cara berkeadaban, mewujudkan Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur yang menghormati satu sama lain. Untuk itu, PDI Perjuangan dalam Kongres ke-IV di Bali tahun 2015, mendorong lahirnya UU tentang Perlindungan Umat Beragama.

Dewasa ini, persatuan dan kesatuan kita tergerus oleh massifnya ujaran kebencian dan berita hoax di media sosial. Karena kontestasi Pilkada, Pileg, dan Pilpres, ada saja kelompok yang berupaya mengoyak kebhinekaan kita. 

Masyarakat Indonesia bisa dikatakan belum bisa sepenuhnya dewasa dalam berdemokrasi jika melihat dari cara berkampanye di dunia nyata maupun di dunia maya. Kampanye yang dilakukan oleh partai politik dan kadernya, masih mengandalkan kampanye hitam yang dibumbui sentimen SARA dibandingkan perang gagasan. 

Padahal, dari akar sejarah terkait falsafah Bhinneka Tunggal Ika adalah seloka dari Empu Tantular tahun 1350 M, sebagaimana telah diteliti oleh Muhammad Yamin, (buku: 6000 Tahun Sang Merah Putih). 

Arti Bhinneka Tunggal Ika dalam kitab Sutasoma itu artinya berbeda itu tetapi satulah itu atau menurut terjemahan Muhammad Yamin: “…berbedalah itu, tetapi satulah itu. Seloka ini falsafah awalnya berasal dari tinjauan hidup untuk memperkuat persatuan dalam kerajaan Keprabuan Majapahit, karena pada waktu itu aliran agama sangat banyak dan aliran fikiran demikian juga. Dan pemaknaan dari seloka yang disusun Empu Tantular itu dengan tujuan untuk menyatukan segala aliran dengan mengemukakan persamaan. Persamaan inilah yang mengikat segalanya, yaitu Bhinneka Tunggal Ika…”

Sederhananya, menjadi tugas berat bagi PDI Perjuangan dalam mengawal Pancasila dan Kebhinekaan di Republik ini dari gangguan anasir-anasir kelompok radikal yang mengatasnamakan agama. 

Karena dampak dari hoax dan ujaran kebencian para pemuka agama yang intoleran, dan masyarakat yang awam terhadap agama namun kerap memaksakan kehendak, bukan hanya mengoyak persatuan dan kesatuan. Namun, kerusakan yang lebih parah ialah adanya konflik horizontal sesama anak bangsa dan umat beragama, akibat ujaran kebencian dan hoax-hoax dengan sentimen SARA yang bertebaran. Dan taruhannya adalah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dus, tugas mulia kader PDI Perjuangan hari ini ialah menjaga persatuan dan kesatuan dari gangguan kelompok intoleran, kelompok radikal yang selalu mengatasnamakan agama, serta politisi busuk yang hanya berfikir merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. 

Untuk itu, merawat Kebhinekaan dan merayakan keberagaman adalah sebuah keniscayaan, agar pembangunan nasional yang telah sukses dicapai Pemerintahan Presiden Joko Widodo bisa terus dilanjutkan agar masyarakat Indonesia lebih sejahtera. Semoga!
 

Quote