Jakarta, Gesuri.id - Di tengah gegap gempita demonstrasi dan cuaca politik yang gelap, kita merindukan kembali marwah kenegaraan para pendiri bangsa. Soekarno, Mohammad Hatta, dan Agus Salim, tiga tauladan asketis dalam laku politik dan kenegaraan kita. Mereka memang bukan malaikat tanpa cela, tetapi manusia yang dengan segala keterbatasannya memilih jalan hidup yang mengutamakan kesederhanaan, kejujuran, dan pengabdian. Jalan itu yang kini terasa asing ketika kita menyaksikan elite negeri bergelimang dalam kemewahan di tengah jeritan rakyat. Bung Karno, Proklamator sekaligus Presiden pertama, mengingatkan bahwa kekuasaan bukanlah panggung perayaan, melainkan taman pengabdian. Sesaat setelah mengambil sumpah sebagai Presiden, ia hanya menyantap lima puluh tusuk sate ayam sebagai resepsi sederhanapelajaran bahwa kenegaraan tak perlu dibalut pesta megah, tapi ketulusan dalam keramahan, sebagaimana ia tulis sendiri dalam otobiografinya Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966).
Di kala belum tersedia furnitur resmi di Yogyakarta, Bung Karno dan ajudannya meminjam taplak meja dari restoran lokal, menggelar perjamuan kenegaraan dengan kursi seadanya.
Mobil kepresidenan pun bukan hasil pembelian megah, melainkan mobil Buick pinjaman dari aktivis Menteng 31 yang merampasnya dari pejabat Jepang. Bung Karno tetap berdiri tegar, berbicara lantang di podium dunia, sementara di balik layar kehidupannya diwarnai oleh kesahajaan yang mendekatkan dirinya pada rakyat. Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama, mempraktikkan integritas tanpa kompromi. Ketika pejabat daerah hendak menyelipkan amplop saat kunjungan, ia menolak tegas: semua telah ditanggung negara. Sisa anggaran rumah tangganya ia kembalikan ke kas negara, bukan disimpan untuk kepentingan pribadi. Bahkan setelah pensiun, uang pensiunnya tidak cukup membayar listrik dan air. Hatta tetap memilih jalan terhormat: mengajar, menulis, menyampaikan pikiran kepada generasi baru, alih-alih mencari jalan pintas. Pernikahannya dengan Rahmi Rachim pada 1945 pun mencerminkan asketismemaskawinnya bukan emas, bukan rumah, melainkan buku yang ia tulis di masa pengasingan. Buku adalah simbol cintanya kepada ilmu, sebuah pengorbanan yang jarang disamai pejabat hari ini. Ketika wafat, Hatta menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan; ia memilih tanah pemakaman umum, agar tetap bersama rakyat biasa yang ia perjuangkan sepanjang hidupnya. Agus Salim, diplomat ulung dan Grand Old Man bangsa, menjadikan kesederhanaan sebagai laku spiritual dan politik. Ia menolak menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Belanda, meski ia sendiri lulusan sekolah kolonial bergengsi. Ia memilih mengajar sendiri di rumahsebuah homeschooling yang lahir dari integritas dan keyakinan bahwa pendidikan harus membebaskan, bukan menundukkan.
Baca:GanjarNilai Ada Upaya Presiden Prabowo Rangkul PDI Perjuangan
Mohammad Roem mengingatkan bahwa bagi Salim, adagium Belanda tua leiden is lijdenmemimpin adalah menderitabukan sekadar kata-kata, tetapi pedoman hidup. Pakaian lusuhnya sering menjadi bahan ejekan, tapi justru dari kesederhanaannya lahir ketajaman retorika yang membuat para diplomat asing terpana.