Megawati Soekarnoputri, Presiden Perempuan Paling Mengerti Tumbuhan dan Lingkungan

Oleh: Kader muda PDI Perjuangan - Muhammad Afthon Lubbi
Senin, 01 Desember 2025 00:41 WIB Jurnalis - Nurfahmi Budi Prasetyo

ADA satu hal menarik tentang Megawati Soekarnoputri yang terus berulang dalam berbagai cerita: ia selalu kembali pada alam. Bagi Presiden ke-5 Republik Indonesia itu, hubungan antara manusia dan lingkungan bukan sekadar wacana politis atau jargon hijau yang sedang tren. Ia memandangnya sebagai sesuatu yang sangat personalbahkan spiritual. Dan dokumenter Merawat Pertiwi episode Bung Karno Ajarkan Cinta Lingkungan yang ditayangkan oleh Kompas TV pertengahan September lalu menjadi semacam jendela kecil untuk melihat bagaimana nilai-nilai itu tumbuh bersamanya sejak kecil.

Megawati kecil bukan tumbuh di ruang ber-AC atau ruang isolasi elite kekuasaan. Ia tumbuh di bawah pohon manggis, mengamati semut yang berpindah sarang, dan mendengar kisah-kisah tentang hubungan manusia dan alam dari neneknya yang berasal dari Bali. Dari sana, ia diperkenalkan pada satu prinsip penting: alam bukan sekadar sumber daya; ia adalah sesama makhluk hidup.

Orang Bali kan sangat cinta alam, kenangnya. Ungkapan itu bukan bentuk romantisasi budaya, melainkan penegasan bahwa kecintaan pada alam adalah fondasi etis dalam cara ia memandang dunia.

Warisan ekologis Megawati juga datang dari sosok yang tak kalah penting: Bung Karno. Sang proklamator ternyata bukan hanya pemimpin revolusi politik, tetapi juga seorang humanis ekologis. Megawati mengingat bagaimana ayahnya enggan membunuh nyamuk. Paling juga satu tetes darah, kata Bung Karno. Sebuah argumen kecil yang justru menunjukkan kepekaan besar: bahwa kehidupansekecil apa puntetap patut dihormati.

Dalam hubungannya dengan alam, Megawati tidak berhenti pada nostalgia. Ia membawa nilai itu menjadi sikap politik dan moral. Salah satu contohnya tampak dari caranya merawat sebuah pohon trembesi di rumahnya, yang setelah dihitung oleh Kebun Raya, telah berusia sekitar 185 tahun. Bagi sebagian orang, itu hanyalah pohon tua. Bagi Megawati, ia adalah rumah bagi burung, bajing, dan ulat; ia adalah sejarah hidup yang tak bisa ditebang begitu saja. Maka ketika melihat penebangan liar, ekspansi industri yang rakus, atau lanskap monokultur yang menghabisi hutan, ia bereaksi bukan sebagai politisi, tetapi sebagai manusia yang merasa tanahnya sedang dilukai.

Baca juga :