ADA satu hal menarik tentang Megawati Soekarnoputri yang terus berulang dalam berbagai cerita: ia selalu kembali pada alam. Bagi Presiden ke-5 Republik Indonesia itu, hubungan antara manusia dan lingkungan bukan sekadar wacana politis atau jargon hijau yang sedang tren. Ia memandangnya sebagai sesuatu yang sangat personal—bahkan spiritual. Dan dokumenter Merawat Pertiwi episode “Bung Karno Ajarkan Cinta Lingkungan” yang ditayangkan oleh Kompas TV pertengahan September lalu menjadi semacam jendela kecil untuk melihat bagaimana nilai-nilai itu tumbuh bersamanya sejak kecil.
Megawati kecil bukan tumbuh di ruang ber-AC atau ruang isolasi elite kekuasaan. Ia tumbuh di bawah pohon manggis, mengamati semut yang berpindah sarang, dan mendengar kisah-kisah tentang hubungan manusia dan alam dari neneknya yang berasal dari Bali. Dari sana, ia diperkenalkan pada satu prinsip penting: alam bukan sekadar sumber daya; ia adalah sesama makhluk hidup.
“Orang Bali kan sangat cinta alam,” kenangnya. Ungkapan itu bukan bentuk romantisasi budaya, melainkan penegasan bahwa kecintaan pada alam adalah fondasi etis dalam cara ia memandang dunia.
Warisan ekologis Megawati juga datang dari sosok yang tak kalah penting: Bung Karno. Sang proklamator ternyata bukan hanya pemimpin revolusi politik, tetapi juga seorang humanis ekologis. Megawati mengingat bagaimana ayahnya enggan membunuh nyamuk. “Paling juga satu tetes darah,” kata Bung Karno. Sebuah argumen kecil yang justru menunjukkan kepekaan besar: bahwa kehidupan—sekecil apa pun—tetap patut dihormati.
Dalam hubungannya dengan alam, Megawati tidak berhenti pada nostalgia. Ia membawa nilai itu menjadi sikap politik dan moral. Salah satu contohnya tampak dari caranya merawat sebuah pohon trembesi di rumahnya, yang setelah dihitung oleh Kebun Raya, telah berusia sekitar 185 tahun. Bagi sebagian orang, itu hanyalah pohon tua. Bagi Megawati, ia adalah rumah bagi burung, bajing, dan ulat; ia adalah sejarah hidup yang tak bisa ditebang begitu saja. Maka ketika melihat penebangan liar, ekspansi industri yang rakus, atau lanskap monokultur yang menghabisi hutan, ia bereaksi bukan sebagai politisi, tetapi sebagai manusia yang merasa tanahnya sedang dilukai.
Kritiknya terhadap industri sawit, misalnya, lahir dari pengamatan ekologis yang tajam. Ia menyebut sawit sebagai tanaman “arogan,” bukan sekadar karena persepsinya, tetapi karena karakter monokultur sawit memang menolak keberagaman hayati. Sawit memaksa lanskap menjadi satu warna, satu fungsi, satu komoditas—dan pada akhirnya, satu pola kerusakan.
Begitu pula ketika ia berbicara tentang air tawar. Ada nada kecewa ketika ia mengatakan bahwa sungai kini tak lagi seperti dulu. "Loh, sungai itu kan air yang sebenarnya bisa langsung diminum," ujarnya. Kritik itu bukan nostalgia kosong; ia adalah refleksi tentang bagaimana modernitas—dengan segala kemudahannya—telah menjauhkan manusia dari hubungan yang sehat dengan alam.
Di antara berbagai aktor dengan kepentingan besar atas hutan, Megawati justru melihat harapan pada masyarakat adat. Baginya, merekalah penjaga hutan yang paling konsisten. Kearifan lokal—yang sering diremehkan—justru menyimpan logika ekologis yang sehat: merawat tanpa merusak, mengambil secukupnya, dan selalu memiliki relasi spiritual dengan alam.
Di titik inilah, ajaran Jawa "memayu hayuning bawana" menjadi relevan. Megawati menghidupkannya bukan sebagai slogan budaya, tetapi sebagai sebuah prinsip yang dapat dipraktikkan: merawat dunia agar ia tetap sejahtera. “Kita bisa mencintai alam ketika kita datang betul, menghirup udaranya, memegang tanah dan akarnya,” katanya. Sebuah epistemologi sederhana namun kuat—pengetahuan yang datang dari perjumpaan langsung, bukan dari teori yang jauh dari bumi.
Essai ekologis Megawati juga memiliki sisi moral. Ia mengingatkan bahwa bahkan hewan hidup secukupnya. Tidak rakus. Jika manusia adalah makhluk paling berakal, mengapa kita justru sering kehilangan kemampuan sederhana itu?
Pada akhirnya, dokumenter Merawat Pertiwi bukan sekadar potret seorang tokoh besar. Ia adalah pengingat bahwa Megawati—terlepas dari perannya dalam politik—adalah manusia yang membawa warisan ekologis Bung Karno dan meneruskannya dalam bentuk sikap. Ia hadir sebagai figur yang mengajak masyarakat memikirkan ulang relasi mereka dengan lingkungan, bukan dengan nada menggurui, melainkan dengan kisah hidup yang jujur.
Dan mungkin inilah mengapa ia layak disebut sebagai presiden perempuan yang paling mengerti tumbuhan dan lingkungan: karena ia tidak hanya tahu, tetapi juga merasa. Tidak hanya bicara, tetapi merawat. Tidak hanya menganalisis kerusakan, tetapi mengingatkan bahwa bumi adalah rumah yang harus dipegang, dihirup, dan dicintai—seperti kita mencintai kehidupan itu sendiri.

















































































