Jakarta, Gesuri.id - Malam itu aku duduk di sebuah ruang pertemuan yang sunyi. Hanya ada cahaya lampu neon putih pucat yang menyinari meja panjang penuh berkas.
Di ruang sunyi perencanaan, teknokratik berdiri gagah dengan barisan data, menyusun mimpi lewat grafik dan tabel yang nyaris tanpa salah titik koma. Namun di luar sana, masyarakat berbisik lirih: Yang kami butuhkan sederhana saja jalan di gang-gang perkampungan tidak lagi becek, nyaman dilalui, sawah tidak terputus, sekolah tak bocor atapnya, UMKM tumbuh berkembang, begitulah sang narasumber membuka pengantarnya.
Panggung megah itu semakin hidup, karena piawainya panitia mendatangkan ahlinya ahli sebagai narasumber, yang sangat fasih menjelaskan konsep pembangunan melalui dua pintu masuk yakni teknokratik dan Pokok Pikiran alias Pokir. Dimulai dari teknokratik, ia menjelaskan bahwa disusun oleh eksekutif dalam hal ini Organisasi Perangkat Daerah (OPD), berbasis data, kajian akademik, indikator makro, serta rencana jangka Panjang, artinya lebih ke evidence based planning atau perencanaan berbasis bukti. Sementara Pokir: menurutnya diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berdasarkan hasil reses, aspirasi masyarakat, serta penyerapan isu langsung di lapangan, atau lebih ke aspiration based planning alias perencanaan berbasis aspirasi.
Sehingga terdengar aneh dan lucu kemudian bila ada OPD yang begitu bangga menyebut programnya teknokratik, seolah lahir dari riset panjang, dari data berlapis, dari visi besar. Namun saat ditengok ke lapangan, yang disebut teknokratik itu hanyalah kegiatan mikro menambal jalan kecil, memasang lampu, atau menyalurkan bantuan receh, begitulah dia memulai kritiknya.