Ikuti Kami

Pokir: Bisikan Rakyat di Tengah Simfoni Angka

Oleh: Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Malang, Abdul Qodir. 

Pokir: Bisikan Rakyat di Tengah Simfoni Angka
Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Malang, Abdul Qodir. 

Jakarta, Gesuri.id - Malam itu aku duduk di sebuah ruang pertemuan yang sunyi. Hanya ada cahaya lampu neon putih pucat yang menyinari meja panjang penuh berkas.

“Di ruang sunyi perencanaan, teknokratik berdiri gagah dengan barisan data, menyusun mimpi lewat grafik dan tabel yang nyaris tanpa salah titik koma. Namun di luar sana, masyarakat berbisik lirih: “Yang kami butuhkan sederhana saja jalan di gang-gang perkampungan tidak lagi becek, nyaman dilalui, sawah tidak terputus, sekolah tak bocor atapnya, UMKM tumbuh berkembang”, begitulah sang narasumber membuka pengantarnya.

Panggung megah itu semakin hidup, karena piawainya panitia mendatangkan ahlinya ahli sebagai narasumber, yang sangat fasih menjelaskan konsep pembangunan melalui dua pintu masuk yakni teknokratik dan Pokok Pikiran alias Pokir. Dimulai dari teknokratik, ia menjelaskan bahwa disusun oleh eksekutif dalam hal ini Organisasi Perangkat Daerah (OPD), berbasis data, kajian akademik, indikator makro, serta rencana jangka Panjang, artinya lebih ke evidence based planning atau perencanaan berbasis bukti. Sementara Pokir: menurutnya diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berdasarkan hasil reses, aspirasi masyarakat, serta penyerapan isu langsung di lapangan, atau lebih ke aspiration based planning alias perencanaan berbasis aspirasi.

“Sehingga terdengar aneh dan lucu kemudian bila ada OPD yang begitu bangga menyebut programnya ‘teknokratik’, seolah lahir dari riset panjang, dari data berlapis, dari visi besar. Namun saat ditengok ke lapangan, yang disebut teknokratik itu hanyalah kegiatan mikro menambal jalan kecil, memasang lampu, atau menyalurkan bantuan receh”, begitulah dia memulai kritiknya.

Baca: Ganjar Dukung Gubernur Luthfi Hidupkan Jogo Tonggo

Menurutnya, meski kadang hanya sepotong kecil dari puzzle besar pembangunan. Pokir tak boleh dipandang sebelah mata seolah hanya deretan “titipan proyek kecil”. Karena, disitulah denyut nadi rakyat tersimpan: dimana membangun jalan kecil yang menghubungkan anak-anak desa ke sekolah, penerangan yang menjaga ibu-ibu dari gelapnya malam saat pulang pengajian, atau bantuan sederhana yang menahan petani agar tak menjual tanah warisan.

Aku pun terhipnotis oleh pemikiran yang disampaiakan dengan epik itu. Utamanya saat dia menjelaskan, bahwa Pokir datang dari suara rakyat, dari lorong-lorong desa, dari tatapan ibu-ibu yang menginginkan air bersih, dari petani yang merindukan jalan ke sawahnya. Ia cepat, nyata dan menyentuh. .

Menurutnya Orientasi Kegiatan teknokratik, harus fokus pada visi misi kepala daerah, target pembangunan jangka menengah hingga panjang, indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan tema strategis. Sementara Pokir: fokus pada kebutuhan nyata dan cepat dirasakan masyarakat, sering berupa infrastruktur dasar, layanan publik, atau bantuan langsung.

“Teknokratik itu rasional, akademis, menekankan kesinambungan program lintas tahun. Sedangkan Pokir: kontekstual, responsif, menekankan keadilan distribusi, manfaat secara merata di dapil”, ia melanjutkan.

Di tengah keseriusan itu, sebuah suara tiba-tiba meledak dari bangku belakang di ruang sunyi itu. Suara yang menusuk telinga, seolah menembus segala kerumunan, “Hai Bung, teknokratik sejatinya bicara arah pembangunan jangka panjang, tentang industrialisasi, tata ruang, ketahanan pangan, tentang strategi besar yang mengikat masa depan daerah. Jika yang dilakukan hanya urusan mikro, maka OPD tak lebih dari tukang cat ulang tembok retak, yang tiap tahun bangga dengan kerja kecilnya, namun lupa bahwa rumahnya hampir roboh. Sudah saatnya OPD berhenti menjadi wasit yang sibuk meniup peluit di tengah tarik-menarik, dan mulai kembali ke naskah utama: melayani rakyat, bukan sekadar menjaga perasaan kursi empuk”. Sontak saja suara itu mengagetkan Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Malam yang juga hadir sebagai narasumber kedua dalam diskusi itu.

Aku tersentak. Kata-kata itu seperti tamparan. Sesaat, suasana hening. Wajah-wajah OPD yang tadinya angkuh dengan data tiba-tiba memucat. Kritik itu memang pedih, tapi tak bisa dibantah.

Aku bangkit, mencoba menengahi. “Sepakat Bung,” aku berkata. Suaraku bergetar tapi tegas, “Bila OPD hanya terpaku pada rencana teknokratik-nya, maka ia jatuh pada kesombongan. Pembangunan tampak megah di dokumen, tapi kosong di hati rakyat, tapi sebaliknya, bila Wakil Rakyat hanya mengejar Pokir tanpa arah besar, pembangunan pun bisa tercerai-berai, ibarat mozaik tanpa gambar utuh. Karenanya, DPRD dan OPD harus duduk sejajar, membaca peta yang sama, dan menyulam data teknokratik dengan aspirasi pokir. Sebab rakyat tak menuntut grafik, mereka menuntut kehidupan yang lebih baik”.

Aku melanjutkan, kalimatku mengalir seperti penceramah viral menyampaikan Kuliah Tujuh Menit alias Kultum, “Teknokratik adalah peta besar, kompas yang menunjukkan arah, sementara Pokir adalah detak jantung, denyut yang membuat arah itu bermakna. Keduanya bukan untuk dipertentangkan, melainkan disulam dalam satu kain. Kain pembangunan yang kokoh karena benang strategisnya kuat, sekaligus hangat karena anyaman aspirasi rakyatnya hidup”.

Ruang sunyi kemudian menjelma jadi dermaga, “apa gunanya merancang kapal luar angkasa, jika perahu nelayan di pantai pun belum bisa berlayar dengan tenang? Mari kembali rendah hati, jadikan teknokratik sebagai peta, dan pokir sebagai suara kompas. Sebab bila keduanya berpadu, barulah pembangunan benar-benar sampai ke hati rakyat,” aku melanjutkan.

Baca: Ganjar Harap Kepemimpinan Gibran Bisa Teruji

Keduanya sama-sama penting, tapi tanpa saling menyapa, mereka hanya akan terombang-ambing di gelombang sejarah. Aku berteriak dari dermaga, “Apa gunanya merancang kapal luar angkasa jika perahu nelayan di pantai pun belum bisa berlayar dengan tenang?”.

“Pak, bangun Pak, sudah sampai kantor”, tiba-tiba aku dengar suara akrab membuyarkan semuanya. Suara Tony, sahabat yang selalu siap grak! mengantarku. Aku tergeragap, menyadari ternyata aku tertidur lelap sepanjang perjalanan dari Dau menuju Jalan Panji.

Keringat masih membasahi keningku, sisa dari kelelahan semalam. Aku baru saja menjelaskan panjang lebar pada tiga dari lima kelompok masyarakat penerima Pokir. Mereka datang dengan harap, tapi pulang dengan kecewa. Semua usulan sudah diinput di Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD), lengkap dan rapi, tapi apa yang terjadi? Realisasi tak kunjung datang. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Malang dengan dalihnya: anggaran habis.

Aku menatap keluar jendela mobil. Langit Malang masih kelam, jalanan ramai, tapi pikiranku berat. Rupanya mimpi barusan bukan sekadar bunga tidur. Semoga ia bukanlah cermin dari kenyataan.

Penutup: Padahal kata Pak Lurah, mbah-nya perencanaan, semua usulan Pokir yang sudah terinput dalam SIPD, dapat diselenggarakan karena sudah teranggarkan.

Quote