Jakarta, Gesuri.id - DALAM suasana peringatan Sumpah Pemuda bulan Oktober ini, pantas kiranya kita mengenang salah satu tokoh penting di balik peristiwa bersejarah itu: Amir Sjarifuddin (19071948). Pada Kongres Pemuda 1928, Amir yang kala itu berusia 21 tahun menjabat sebagai bendahara panitia, mewakili organisasi Jong Bataks Bond.
Istilah Sumpah Pemuda memang belum dikenal waktu itu. Namun, peristiwa tersebut menjadi tonggak penyatuan semangat para pemuda dari berbagai daerah menuju satu cita-cita: Indonesia merdeka. Tragisnya, di akhir hayatnya, Amir mengalami nasib pahit akibat pilihan politiknya. Seperti halnya Sutan Sjahrir, Amir juga dikhianati oleh pendukungnya sendiri demi kepentingan politik kekuasaan yang gelap.
Dari Patriotisme Lokal ke Nasionalisme Indonesia
Pada masa Kongres Pemuda, Amir adalah sosok muda cerdas, orator ulung, pemain biola yang handal, namun juga dikenal emosional. Ia lahir sebagai seorang Muslim, kemudian berpindah menjadi penganut Kristen sekitar tahun 1935.
Sebagai pemimpin pemuda Batak, Amir bersama rekan-rekan seangkatannya sedang mengalami proses transformasi penting dari semangat kedaerahan menuju nasionalisme Indonesia. Di dekade 1920-an, semangat kebangsaan mulai tumbuh kuat di kalangan pemuda yang bersekolah dan berorganisasi di Jakarta. Mereka perlahan meninggalkan identitas kesukuan dan melebur dalam satu tekad: Indonesia yang merdeka.