Nobel Fisika 2025: Tuhan Mungkin Bermain Dadu

Oleh: Daniel Rohi - Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur & Dosen Teknik Elektro, Universitas Adi Buana Surabaya
Rabu, 22 Oktober 2025 16:42 WIB Jurnalis - Nurfahmi Budi Prasetyo

KETIKA mendengar percakapan antara Prof. Emeritus John Clarke dan Adam Smith dari Komite Hadiah Nobel, saya merasa terharu. Clarke tampak terkejut sekaligus terenyuh. Dengan suara bergetar ia berkata, Saya tidak bisa membayangkan menerima penghargaan ini tanpa dua rekan saya, merujuk pada John Martinis dan Michel Devoret, dua ilmuwan yang telah bekerja bersamanya selama lebih dari empat dekade. Kolaborasi ini berbuah Hadiah Nobel Fisika 2025.

Panitia Nobel di Stockholm menjelaskan alasan penghargaan itu: atas karya luar biasa dalam mekanika kuantum, khususnya karena berhasil membangun sistem superkonduktor yang mampu menembus batas antar-keadaan fisik (tunneling between physical states).

Penemuan ini membuktikan bahwa fisika kuantum yang dulu rumit kini dapat dijinakkan dan diwujudkan menjadi teknologi nyata penentu masa depan manusia.

John Clarke, lahir di Cambridge tahun 1942, menempuh pendidikan sarjana dan doktoral di University of Cambridge, Inggris. Ia berkarir panjang di University of California, Berkeley, bekerja bersama John M. Martinis, fisikawan kelahiran 1958 yang berafiliasi dengan University of California, Santa Barbara, dan dikenal sebagai pionir penelitian qubit superkonduktor untuk komputasi kuantum.

Rekan mereka, Michel H. Devoret, lahir di Paris tahun 1953, meraih Ph.D. dari Universitas Paris-Sud dan kini menjadi profesor di Yale University. Kolaborasi lintas generasi dan benua ini menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan berkembang melalui jejaring intelektual yang luas dan saling memperkaya.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Martinis dan Devoret, perhatian saya tertuju pada John Clarke dan perjalanan pendidikannya.

Baca juga :