KETIKA mendengar percakapan antara Prof. Emeritus John Clarke dan Adam Smith dari Komite Hadiah Nobel, saya merasa terharu. Clarke tampak terkejut sekaligus terenyuh. Dengan suara bergetar ia berkata, “Saya tidak bisa membayangkan menerima penghargaan ini tanpa dua rekan saya,” merujuk pada John Martinis dan Michel Devoret, dua ilmuwan yang telah bekerja bersamanya selama lebih dari empat dekade. Kolaborasi ini berbuah Hadiah Nobel Fisika 2025.
Panitia Nobel di Stockholm menjelaskan alasan penghargaan itu: “atas karya luar biasa dalam mekanika kuantum, khususnya karena berhasil membangun sistem superkonduktor yang mampu menembus batas antar-keadaan fisik (tunneling between physical states).”
Penemuan ini membuktikan bahwa fisika kuantum yang dulu rumit kini dapat dijinakkan dan diwujudkan menjadi teknologi nyata penentu masa depan manusia.
John Clarke, lahir di Cambridge tahun 1942, menempuh pendidikan sarjana dan doktoral di University of Cambridge, Inggris. Ia berkarir panjang di University of California, Berkeley, bekerja bersama John M. Martinis, fisikawan kelahiran 1958 yang berafiliasi dengan University of California, Santa Barbara, dan dikenal sebagai pionir penelitian qubit superkonduktor untuk komputasi kuantum.
Rekan mereka, Michel H. Devoret, lahir di Paris tahun 1953, meraih Ph.D. dari Universitas Paris-Sud dan kini menjadi profesor di Yale University. Kolaborasi lintas generasi dan benua ini menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan berkembang melalui jejaring intelektual yang luas dan saling memperkaya.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Martinis dan Devoret, perhatian saya tertuju pada John Clarke dan perjalanan pendidikannya.
Seperti Isaac Newton, Clarke menempuh pendidikan di Cambridge, salah satu universitas tertua dan paling berpengaruh di dunia. Saya berkesempatan mengunjungi Cambridge pada 2022. Menyusuri halaman-halaman tua dan menaiki perahu di antara bangunan batu berabad-abad, langkah saya terhenti di Trinity College, tempat Newton menimba ilmu. Saya duduk di bawah pohon apel Newton, konon hasil cangkok dari pohon asli di Woolsthorpe Manor, tempat ia menemukan gagasan gravitasi. Saat itu saya menyadari betapa kuatnya atmosfer akademik Cambridge; tidak mengherankan tempat ini melahirkan tokoh-tokoh besar yang mengubah dunia.
Melihat Clarke menempuh jalur yang sama dengan Newton di Cambridge mengingatkan saya akan warisan intelektual universitas ini dalam bidang ilmu alam, terutama fisika. Peradaban modern dibangun di atas fondasi fisika, dari mana lahir berbagai ilmu rekayasa yang menjembatani teori dan penerapan praktis. Di antara semua teori yang pernah lahir, yang paling berpengaruh adalah temuan Isaac Newton. Fisikawan Michio Kaku menyebutnya ilmuwan fisika terbesar sepanjang masa karena Newton tidak hanya merumuskan hukum-hukum alam, tetapi juga menciptakan kalkulus untuk menghitungnya dengan presisi tinggi.
Fisika Newton berpijak pada pandangan bahwa alam semesta bekerja secara deterministik: teratur, pasti, dan dapat diprediksi. Setiap gerak benda mengikuti hukum sebab-akibat, sehingga alam semesta tampak seperti mesin yang bergerak secara terstruktur, terukur, dan masif.
Hukum-hukum Newton menyediakan landasan ilmiah bagi inovasi teknologi yang memicu revolusi industri; penemuan mesin uap, mesin listrik, dan teknologi rekayasa lainnya mengubah masyarakat agraris menjadi masyarakat industri yang lebih produktif dan dinamis.
Namun, fisika Newton yang mendominasi pemikiran ilmiah selama tiga abad akhirnya digugat pada awal abad ke-20. Max Planck menunjukkan bahwa hukum Newton tidak berlaku di dunia atom, di mana partikel-partikel subatomik tidak lagi patuh pada hukum sebab-akibat klasik. Pergeseran besar ini memuncak dalam perdebatan terkenal antara Albert Einstein dan Niels Bohr. Einstein, yang masih percaya pada keteraturan semesta, berkata, “God does not play dice with the universe.” Bohr menanggapinya dengan tegas, “Einstein, stop telling God what to do.” Debat ini menandai lahirnya paradigma baru: pada skala mikroskopik, ketidakpastian justru menjadi hukum dasar alam.
Fisika kuantum mengungkap bahwa partikel seperti elektron dan foton bersifat dualitas partikel-gelombang. Dunia mikroskopis tidak tunduk pada kepastian, melainkan probabilitas; posisi dan kecepatan partikel hanya dapat diperkirakan, dan hasilnya bergantung pada cara pengamatan. Energi dan materi di dunia ini muncul dalam paket terkecil yang disebut kuantum, unit dasar fenomena mikroskopis.
Menariknya, ketika diamati, gelombang runtuh menjadi satu kemungkinan nyata, meninggalkan sifat partikel, misteri yang telah digumuli ilmuwan kuantum selama hampir satu abad.
Fenomena unik ini diformulasikan secara tepat oleh Erwin Schrödinger melalui persamaan gelombangnya, meski pembuktiannya di laboratorium tetap sulit dilakukan.
Lebih menakjubkan, partikel-partikel itu dapat saling terhubung secara instan meski terpisah jauh melalui fenomena keterikatan kuantum (entanglement).
Superposisi, keadaan di mana partikel dapat berada di beberapa kondisi sekaligus, menandai perbedaan radikal dengan dunia makroskopik Newton. Richard Feynman pernah berkata, “If you think you understand quantum mechanics, you don’t,” menggambarkan betapa misteriusnya dunia ini.
Kesulitan memahami dunia kuantum akhirnya terpecahkan seabad kemudian lewat karya Clarke dan timnya. Mereka membangun rangkaian superkonduktor yang menjaga keadaan kuantum tetap stabil, sehingga gelombang kuantum tidak runtuh sebelum diukur.
Rangkaian ini memungkinkan qubit, unit dasar informasi kuantum, berada dalam beberapa keadaan sekaligus, berbeda dengan bit klasik yang hanya 0 atau 1.
Dari penemuan ini lahir komputer kuantum, yang mampu memproses jutaan kemungkinan secara bersamaan, menyelesaikan perhitungan kompleks yang membutuhkan ribuan tahun oleh komputer klasik hanya dalam detik atau menit. Pencapaian ini menunjukkan kemampuan manusia menjinakkan alam semesta yang penuh ketidakpastian, sekaligus membuktikan bahwa misteri yang tampak mustahil perlahan bisa diuraikan melalui kreativitas dan ketekunan ilmiah.
University of Cambridge melahirkan dua ilmuwan besar dengan wajah pengetahuan berbeda. Newton menegaskan keteraturan dan kepastian alam semesta, sedangkan Clarke menyingkap dunia atom yang penuh ketidakpastian dan peluang.
Lewat rangkaian superkonduktor yang ia kembangkan, Clarke menjinakkan fenomena kuantum sehingga qubit dapat mempertahankan superposisi dan interferensi, membuka era komputer kuantum.
Dari sini terlihat, alam makroskopik tampak deterministik, namun di dunia atom segala sesuatu bersifat probabilistik. Barangkali, seperti yang disindir Bohr kepada Einstein, di ruang sunyi antara partikel dan gelombang, Tuhan memang mungkin bermain dadu dengan semesta.
Perbedaan antara Newton dan Clarke mengingatkan kita bahwa Tuhan sejati tak pernah sepenuhnya dapat dipahami oleh logika manusia.
Ia terlalu akbar untuk dibatasi oleh rumus atau persamaan ciptaan manusia. Seperti qubit yang bisa berada dalam beberapa kemungkinan sekaligus, Tuhan hadir dalam berbagai cara yang tak sepenuhnya bisa ditangkap pikiran manusia.
Tuhan yang termanifestasi lewat ciptaan-Nya tetap menjadi misteri, terbuka untuk dimaknai melalui beragam pendekatan. Dalam kebesaran-Nya yang maha hadir, manusia hanya bisa mengagumi, merenung, dan terus belajar, sambil mengingat peringatan Niels Bohr: “Einstein, stop telling God what to do.”
















































































