Ikuti Kami

Keberagaman Agama dalam Negara Kesatuan

Oleh : E. Y. Wenny Astuti Achwan, Caleg PDI Perjuangan DPR RI, Dapil NTB 2.

Keberagaman Agama dalam Negara Kesatuan
E. Y. Wenny Astuti Achwan, Caleg PDI Perjuangan DPR RI, Dapil NTB 2 (kanan).

Menurut catatan sejarah menjelang dan awal kemerdekaan, pembentukan Kementerian Agama tidak sekali jadi, alias melalui proses tersendiri. 

Usulan perlu diadakan Kementerian yang berhubungan dengan agama pertama kali disampaikan  dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 11 Juli 1945 oleh Muhammad Yamin. Saat itu beliau menyebutnya Kementerian Islamiyah.

Pada waktu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melangsungkan sidang hari Minggu, 19 Agustus 1945 untuk membicarakan pembentukan kementerian/ departemen, usulan didirikannya Kementerian Agama disetujui oleh enam dari 27 Anggota PPKI. 

Pada saat itu Yohannes Latuharhary, wakil dari wilayah kepulauan Maluku, mengusulkan agar masalah-masalah agama diurus Kementerian Pendidikan. Abdul Abbas, seorang wakil dari Lampung, mendukung usul agar urusan agama ditangani Kementerian Pendidikan. Iwa Kusumasumantri, seorang nasionalis dari Jawa Barat, setuju gagasan perlunya Kementerian Agama tetapi karena pemerintah itu sifatnya nasional, agama seharusnya tidak diurus kementerian khusus.

Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan Taman Siswa, lebih suka urusan-urusan agama menjadi tugas Kementerian Dalam Negeri. Dengan penolakan beberapa tokoh penting ini, usul pembentukan Kementerian Agama akhirnya ditolak. 

Keputusan untuk tidak membentuk Kementerian Agama dalam kabinet Indonesia yang pertama, menurut B.J. Boland, telah meningkatkan kekecewaan orang-orang Islam yang sebelumnya telah dikecewakan oleh keputusan yang berkenaan dengan dasar negara, yaitu Pancasila, dan bukannya Islam atau Piagam Jakarta. 

Kemudian usulan pembentukan Kementerian Agama pertama kali diajukan kepada BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) pada tanggal 11 Nopember 1946 oleh K.H. Abudardiri, K.H. Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro, yang semuanya merupakan anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dari Karesidenan Banyumas. Usulan ini mendapat dukungan dari Mohammad Natsir, Muwardi, Marzuki Mahdi, dan Kartosudarmo yang semuanya juga merupakan anggota KNIP untuk kemudian memperoleh persetujuan BP-KNIP. 

Kelihatannya, usulan tersebut kembali dikemukakan dalam sidang pleno BP-KNIP tanggal 25-28 Nopember 1945 bertempat di Fakultas Kedokteran UI Salemba. Wakil-wakil KNIP Daerah Karesidenan Banyumas dalam pemandangan umum atas keterangan pemerintah kembali mengusulkan, antara lain; Supaya dalam negara Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambil-lalukan dalam tugas Kementerian Pendidikan, Pengajaran & Kebudayaan atau departemen-departemen lainnya, tetapi hendaknya diurus oleh suatu Kementerian Agama tersendiri. 

Usul tersebut mendapat sambutan dan dikuatkan oleh tokoh-tokoh Islam yang hadir dalam sidang KNIP pada waktu itu. Tanpa pemungutan suara, Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohamad Hatta, yang kemudian menyatakan, bahwa Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah. Sebagai realisasi dari janji tersebut, pada 3 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan ketetapan NO.1/S.D. yang antara lain berbunyi: Presiden Republik Indonesia, Mengingat: Usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), memutuskan: Mengadakan Departemen Agama. (Sumber: Website Kementerian Agama RI: Sejarah Pembentukan Kemenag).

Hari Amal Bhakti Dalam Kehidupan Bermasyarakat 

Hari Kelahiran Kementerian Agama (awalnya Departemen Agama) pada 3 Januari ini diperingati juga sebagai Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian Agama.

Melalui peringatan ini kita diingatkan agar menjunjung tinggi komitmen dan loyalitas serta dedikasi untuk mengemban amanah yang diberikan kepada kita sekalian untuk mengamal-bhaktikan segala potensi dan kreatifitas kita untuk mewujudkan visi Departemen Agama yang tertuang dalam peraturan Menteri Agama No. 8 Tahun 2006 yakni: “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang taat beragama, maju, sejahtera, dan cerdas serta saling menghormati antar sesama pemeluk agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Sangat jelas bahwa semangat visi tersebut mengandung roh keindonesiaan yang berlaku untuk semua warga masyarakat tanpa merujuk atau membedakan agama manapun. Dengan demikian tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dalam menjalankan fungsinya Kementerian Agama harus tampil di garda terdepan untuk memberikan teladan saling menghormati tanpa membedakan ras, suku, agama, asal-usul, gender, dan golongan dalam kehidupan bermasyarakat dalam wadah NKRI yang Bhinneka Tunggal Ika.

Hal tersebut sejalan dengan fungsi penyelenggaraan Kementerian Agama dalam rangka meningkatkan pelayanan publik yang salah satunya adalah perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu. 

Oleh karena itu peringatan Hari Kementerian Agama mengandung ajakan kepada seluruh warganegara agar benar-benar senantiasa melaksanakan amal bhakti dalam semua aspek kehidupan seluruh warganegara. Tanpa kecuali. 

Negara Berdasar Atas Ketuhanan Yang Maha Esa

Sekalipun Indonesia bukan sebagai negara yang berdasarkan agama, tetapi pemerintah memberikan perhatian yang sedemikian luas dan besar terhadap kehidupan beragama dengan menunjuk satu departemen tersendiri yang bertugas melakukan pembinaan dan pelayanan terhadap semua agama yang ada, yaitu Departemen Agama. Agama tidak dijadikan sebagai dasar mengatur negara, tetapi agama diposisikan sebagai pedoman berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Namun nilai-nilai universal agama, seperti keadilan, kejujuran, saling menghormati sesama, kasih sayang, kebersamaan, bermusyawarah, dan lain-lain dijadikan sebagai sumber atau roh dalam menyusun berbagai aturan, pedoman, dan bahkan Undang-Undang Negara.

Pada waktu memperingati 10 tahun berdirinya Kementerian Agama, tahun 1956, Menteri Agama K.H. Muchammad Iljas menegaskan kembali politik keagamaan dalam Negara Republik Indonesia. Ditegaskannya, bahwa fungsi Kementerian Agama adalah merupakan pendukung dan pelaksana utama asas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sila pertama Pancasila, ”Ketuhanan yang Maha Esa”, dinilai sebagai paradigma relasi negara dan agama di Indonesia. Kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia bukan semata perjuangan rakyat tetapi juga “berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa”.

Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 
(Lukman Hakim Saifuddin, 2009: 9).

Oleh karena itu Negara Indonesia tidak mendasarkan diri pada satu agama saja, tetapi Negara Pancasila juga bukan berarti negara sekuler yang tidak terlibat sama sekali dalam urusan agama. Negara Pancasila adalah "religions nation state" yaitu Negara kebangsaan yang melindungi dan memfasilitasi semua agama yang dipeluk warganegaranya tanpa membedakan besar dan jumlah pemeluknya. Dalam pengertian demikian, kebersamaan, keadilan dan persatuan dengan sendirinya sudah mencakup sikap toleransi kehidupan beragama. Tidak ada lagi perasaan dipinggirkan atau dianaktirikan. Perbedaan pendapat dan keyakinanpun  tidak lantas dituduh sebagai kafir, murtad atau anti agama.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini sangat dimungkinkan jika suatu saat Kementerian Agama bisa dipimpin oleh seseorang dari agama apapun yang diakui di Negara Pancasila ini. 

DIRGAHAYU HARI AMAL BHAKTI KEMENTERIAN AGAMA
3 JANUARI 2019

Quote