Ikuti Kami

Menghadirkan Jurnalisme dengan Visi Positif

Peran media massa arus utama menghadirkan liputan yang berperspektif positif agaknya merupakan satu imperatif yang tak bisa ditawar lagi.

Menghadirkan Jurnalisme dengan Visi Positif
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto saat menyapa wartawan saat menghadiri persidangan di PN Jakarta Pusat, Rabu (7/2)

Jakarta, Gesuri.id - Semboyan konservatif dalam jurnalisme yang berbunyi bahwa berita buruk adalah berita baik agaknya perlu diimbangi dengan visi positif tentang masa depan dalam liputan pers, terutama dalam liputan politik yang menjadi pilar penataan hidup bersama yang bertujuan melahirkan kemakmuran berkeadilan.

Media massa arus utama yang harus merevitalisasi diri dalam mengarungi tantangan-tantangan baru, seperti munculnya media sosial yang mendominasi lanskap pemberitaan, tampaknya masih bisa meraih simpati dari pembaca justru karena liputan dan pemberitaannya yang berfokus pada masa depan yang optimistik.

Dalam konteks ini perlulah menyebut satu simpati yang disampaikan oleh Gloria Dunn Violin, pembaca yang tinggal di California, AS, yang menulis di halaman surat pembaca Majalah Time edisi 29 Januari 2018 atas liputan majalah berita mingguan itu pada terbitan sebelumnya dengan tajuk "The Optimist".

Gloria memuji Time sebagai majalah yang terhormat, bacaan bermutu dan berpengaruh, yang dapat memulai tren dengan mempublikasikan isu lewat berita-berita positif.

Berita-berita positif itulah kata kuncinya. Tentu perlu teknik tersendiri untuk menghadirkan berita-berita positif di media cetak tanpa harus membikin pembaca bosan dan meninggalkan bacaan di tangannya. Bagaimana caranya? Kali ini, majalah terbesar dunia itu memberikan kesempatan kepada Bill Gates, pendiri dan pemilik Microsoft yang juga orang terkaya di bumi untuk menjadi editor atas laporan utama Time.

Dengan fakta-fakta dan pemaparan yang meyakinkan tentang perkembangan positif dunia seperti semakin banyaknya perempuan dan anak-anak di seluruh dunia yang dapat diselamatkan dari kematian dini, semakin banyaknya orang-orang yang dientaskan dari lembah kemiskinan, pembaca melihat gambaran dunia yang mengarah pada optimisme di masa depan.

Tampaknya, apa yang dilakukan majalah internasional itu perlu juga diikuti jejaknya oleh awak pers yang bekerja di media massa arus utama di dalam negeri. Ini penting terutama dalam memberikan gambaran yang optimistik tentang masa depan perpolitikan di Tanah Air.

Dengan kata lain, liputan tentang politik yang berpengharapan perlu diberi porsi yang lebih besar untuk mengimbangi maraknya ujaran saling hujat, penuh nada kebencian dan ramalan pesimistik yang merajalela di media sosial, terutama dalam konteks perseteruan politik di tataran lokal maupun nasional.

Sesungguhnya visi setiap media massa yang punya komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan dapat dikatakan identik alias tak jauh berbeda satu sama lain. Pekabaran tentang tragedi misalnya, pada ujung pemberitaan kurang lebih memuat pesan bahwa di masa depan jangan sampai tragedi serupa akan terulang kembali.

Pers yang mengutamakan liputan politik yang berpengharapan tak akan berhenti untuk memberitakan persaingan sengit dua kontestan dalam perebutan kekuasaan politik, dengan sekadar mengobarkan perseturuan kedua kubu, yang berpengaruh negatif pada pendukung masing-masing di tataran akar rumput.

Ketika pertarungan sengit dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 diikuti dengan berbagai hujatan, politisasi agama, ras yang memantik ujaran kebencian di kedua kubu, pers perlu menurunkan hasil wawancara dari tokoh berpengaruh yang dapat mendinginkan suasana.

Begitu salah satu kontestan dinyatakan sebagai pemenang oleh Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta, pers yang mendamaikan segera mewawancarai tokoh yang berwawasan nasionalis dengan merangkul semua pihak. Pemilihan narasumber yang netral tak memihak dan kredibel dalam mengomentari setiap isu sensitif tampaknya sangat krusial dalam menumbuhkan visi politik yang berpengharapan.

Untuk menghadapi perebutan kursi kekuasaan dalam pilkada serentak 2018 serta Pilpres 2019 yang diperkirakan akan segera memanas, peran media massa arus utama menghadirkan liputan yang berperspektif positif agaknya merupakan satu imperatif yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Politisasi agama, yang dalam demokrasi yang sudah mapan sangat ditabukan, diperkirakan masih akan muncul di sana-sini, terutama dilakukan oleh kalangan pendukung kontestan dan bukan oleh elite politik yang maju dalam kontes pertarungan kuasa itu.

Untuk mengurangi pengaruh negatif politisasi agama dalam berdemokrasi, perlulah kiranya Komisi Pemilihan Umum menegaskan kembali upaya menghindari praktik yang ditabukan demokrasi itu dengan mengajak kontestan di kedua kubu menandatangani komitmen bersama untuk menghindari eksploitasi nilai-nilai keagamaan dalam berkampanye.

Politisasi agama, politik identitas, sektarianisme perlu ditegaskan sebagai hal yang terlarang dalam demokrasi karena hal itu bertentangan dengan konsep republik yang tidak memandang warga dari sudut identitas mereka.

Elite politik yang terpilih dalam pemilihan umum adalah pemimpin bagi semua warga, tak peduli apa pun identitas sosial atau keagamaan mereka. Aturan harus dibuat berdasarkan kepentingan bersama, bukan kepentingan kelompok tertentu.

Namun dalam politik riil, elite yang sedang mempertaruhkan segalanya untuk sebuah ambisi kekuasaan sering abai terhadap imperatif demokratis itu.

Meski demikian, fenomena itu tak perlu mementahkan atau menenggelamkan berbagai kemajuan yang telah diraih oleh berbagai pihak dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi.

Pada titik inilah media massa arus utama perlu memberikan aksentuasi liputan mereka pada kemajuan demokrasi yang sudah diraih sejak momen reformasi yang hampir berusia dua dekade.

Quote