Ikuti Kami

Putusan MK yang Dinilai Vulgar Hanya Memihak Kepentingan Keluarga Jokowi

Hakim MK menerima permohonan Almas yang mengaku mengidolakan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.

Putusan MK yang Dinilai Vulgar Hanya Memihak Kepentingan Keluarga Jokowi

Jakarta, Gesuri.id - Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (16/10/2023) memutuskan mengabulkan permohonan seorang mahasiswa asal Surakarta, Almas Tsaibbirru Re A yang ingin mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Putusan ini pun berbeda dengan putusan perkara sejenis lainnya yang dibacakan MK pada hari ini, di mana MK menolak uji materi terkait batas usia capres-cawapres.

Dalam pertimbangannya, hakim MK menerima permohonan Almas yang mengaku mengidolakan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka karena banyak anak muda ditunjuk sebagai pemimpin. Sehingga, dalam batas penalaran yang wajar, secara rasional, usia di bawah 40 tahun dapat saja, incertus tamen, menduduki jabatan baik sebagai presiden maupun wakil presiden sepanjang memenuhi kualifikasi tertentu yang sederajat/setara.

Gugatan ini pun dikaitkan dengan upaya mengakomodasi putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu menjadi cawapres pendamping capres Prabowo Subianto. Gibran yang kini berusia 36 tahun dan menjadi kepala daerah, dengan keputusan MK maka Gibran, meski secara umur belum memenuhi syarat, tetapi bisa maju sebagai cawapres karena menjabat wali kota.

Pengamat politik dari lembaga Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, putusan MK kian kental nuansa politis dan cenderung membela satu orang semata untuk konteks 2024, yakni Gibran Rakabuming Raka. Hal ini karena meski MK menolak soal usia, tetapi putusan tersebut memasukan syarat lain bagi yang di bawah usia 40 tahun, yakni pernah menduduki jabatan yang didapat melalui pemilihan, termasuk Pilkada.

Ini berarti Gibran lolos syarat ini sebagai cawapres atau capres karena faktor pernah menjabat dalam jabatan negara melalui Pilkada Kota Surakarta.

"MK tidak ingin dianggap secara vulgar memihak kepentingan keluarga Jokowi, tetapi subtansi putusan itu jelas mengelabui penggugat, karena faktanya usia di bawah 40 tahun sekalipun dapat mengikuti kontestasi," ujar Dedi dalam keterangannya, Senin (16/10).

Dedi pun menilai, putusan ini lebih buruk dibanding mengabulkan gugatan terkait batas usia minimal capres. Sebab, jika putusan batas usia dikabulkan maka semua warga negara bisa maju tanpa terkecuali. Namun, dengan hanya dikabulkannya klausul minimal pernah berpengalaman menjadi kepala daerah hanya mengakomodasi pihak yang ada di kekuasaan.

"Tetapi dengan putusan MK saat ini justru hanya diperuntukkan bagi yang sudah berada di kekuasaan. MK seperti sedang membodohi publik," ujarnya.

Juru bicara Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo (TPN GP), Chico Hakim menjelaskan, bahwa kewenangan MK adalah untuk menyatakan sebuah peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, materi pokok terkait capres-cawapres sudah melampaui kewenangannya.

"Ketika MK mengambil materi muatan baru yang tidak tercantum dalam materi pokok undang-undang yang diuji, yaitu ketentuan baru pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, maka MK melampaui kewenangannya sebagai institusi negara," ujar Chico di Media Center TPN GP, Jakarta, Senin (16/10).

Selanjutnya, menurut Chico, MK tak memiliki kewenangan untuk mengubah materi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Padahal, itu merupakan kewenangan DPR sebagai lembaga legislasi.

"Apa yang diputuskan MK itu walaupun bersifat final dan binding (mengikat), tidak memiliki fungsi legislasi. Jadi MK adalah institusi yang tidak memiliki fungsi legislasi, maka apa yang diputuskan tidak otomatis menjadi hukum," ujar Chico.

Karena hal tersebut, orang yang memiliki pengalaman sebagai kepala daerah tak bisa serta merta langsung mendaftar sebagai capres ataupun cawapres. Ia juga menilai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga tak bisa mengubah Peraturan KPU (PKPU) untuk memasukkan norma yang menjadi putusan MK.

"KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu tidak bisa melakukan perubahan PKPU berkaitan dengan materi pernah atau sedang menjadi kepala daerah, sebelum UU Pemilu direvisi di DPR," ujar Chico.

Berbeda dengan TPN GP, Partai Gerindra menghormati putusan MK yang sudah dibacakan oleh MK. "Terhadap putusan MK ini kami hormati dan tentunya apa yang diputuskan oleh MK ini bersifat final dan mengikat, dan tentunya langsung dilaksanakan," ujar Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, Senin.

Menurut Dasco, putusan MK tersebut membuka peluang Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi bakal cawapres untuk Prabowo Subianto. "Dengan putusan MK ini tidak hanya membuka peluang bagi Mas Gibran, tetapi bagi kepala daerah yang sedang menjabat ataupun mantan kepala daerah yang dipilih langsung oleh pilkada seperti dengan pilpres," ujar Dasco di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (16/10).

"Itu juga terbuka kesempatannya untuk bisa menjadi (calon) presiden dan wakil presiden," sambungnya.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memimpin sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). MK menolak syarat usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Dalam Sidang tersebut MK juga mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.

Dalam putusan yang dibacakan Senin (16/10), MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan "berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

"Sehingga pasal 169 huruf q selengkapnya berbunyi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," ujar Ketua MK Anwar Usman, membacakan putusan.

Dalam pertimbangan putusan, MK menjelaskan alasan menerima sebagian gugatan ini karena batas usia capres/cawapres tidak diatur resmi dalam UUD 1945. Hakim MK Manahan MP Sitompul menyebut MK dalam beberapa putusan yang berkaitan dengan open legal policy kerap berpendirian bahwa legal policy dapat saja dikesampingkan. Ini bisa terjadi apabila melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. 

"Demikian juga sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian dapat dinyatakan inkonstitusional atau inkonstitusional bersyarat oleh mahkamah," ujar Manahan. 

Manahan juga menekan norma yang berkaitan dengan legal policy adalah sesuatu yang tidak diatur secara tegas dalam konstitusi. Sebab jika diatur tegas dalam konstitusi maka undang-undang tidak boleh mengatur norma yang berbeda dengan norma konstitusi. Dalam beberapa putusan terakhir, lanjut Manahan, MK memberikan tafsir ulang dan mengesampingkan open legal policy.

"Seperti dalam perkara yang terkait batas usia pensiun dan batas usia minimum bagi penyelenggara negara," ujar Manahan.

Manahan menerangkan, putusan itu diambil karena MK memandang norma yang dimohonkan pengujinya dinilai melanggar salah satu prinsip untuk dapat mengesampingkan atau mengabaikan open legal policy.

"Seperti pelanggaran terhadap prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable, tidak melampaui kewenangan, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang dan atau bertentangan dengan UUD 1945," ujar Manahan.

Quote