Ikuti Kami

Feri Amsari: MK Harus Ungkap Kecurangan Terstruktur, Sistematis, dan Massif Pemilu 2024

Bahkan perbuatan kecurangan oleh penyelenggara (KPU), ada berbagai rekaman yang memperlihatkan betapa mereka tidak mandiri.

Feri Amsari: MK Harus Ungkap Kecurangan Terstruktur, Sistematis, dan Massif Pemilu 2024

Jakarta, Gesuri.id - Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menekankan, Mahkamah Konstitusi (MK) bukan hanya diperuntukkan menilai angka perolehan suara pasangan calon (paslon) pada Pilpres 2024, tetapi juga untuk memastikan proses angka itu muncul.

Penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil (jurdil) tidak bisa dilihat dari angka pemilu. Hasil pemilu itu sendiri merupakan hasil dari politik gentong babi berupa penggunaan insentif dana pemerintah untuk memenangkan salah satu paslon. 

Berdasarkan survei Litbang Kompas, 51 juta pemilih yang memilih karena menerima gentong babi (bantuan sosial/bansos). Artinya, ada angka dan proses yang bermasalah yang bisa ditonjolkan dalam sidang di MK. 

“Bahkan perbuatan kecurangan oleh penyelenggara (KPU), ada berbagai rekaman yang memperlihatkan betapa mereka tidak mandiri. Bahkan berencana melakukan kecurangan secara nasional yang kalau dibongkar di dalam sidang MK akan memperlihatkan betapa jahatnya proses penyelenggaraan pemilu saat ini,” beber Feri dikutip dari akun Youtube Akbar Faisal "Uncensored," Sabtu (23/3/2024).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang itu menuturkan, kecurangan pada Pilpres 2024 yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) harus dibongkar ke publik termasuk pelakunya.

“Dengan kerendahan hati kami ingin mengatakan bahwa segala kecurangan ini dirancang atas kehendak presiden,  presiden adalah salah satu  lembaga negara yang harus  ditunjuk hidung dalam proses untuk bertanggung jawab kepada publik kenapa begitu kacau pemilu,” tegasnya.

Selain itu, presiden harus mendapatkan pelajaran. Siapa pun presiden yang sudah masuk dalam tahap periode kedua tidak boleh terlalu jauh cawe-cawe untuk menentukan kemenangan dalam pemilu tertentu terhadap calon tertentu.

MK untuk Mengubah Hasil
Lebih lanjut Feri mengatakan,  secara konstitusional, MK diperuntukkan untuk mengubah hasil apabila terjadi kealpaan dalam proses penyelenggaraan pemilu.

Dia menilai adalah hal aneh jika ada pihak yang menyebut bahwa proses di MK hanya sekadar proses tanpa ada perubahan hasil.
“Kalau begitu, untuk apa bersidang di MK dan untuk apa ada lembaga MK?” katanya.

Perbaikan sistem pemilu di Indonesia, tak terlepas dari perbaikan sistem penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di MK. Hakim MK, lanjutnya, sangat bisa dipengaruhi oleh kekuatan politik mana pun. 

Seorang hakim di MK bisa diganti di tengah jalan tanpa diketahui apa kesalahan sang hakim, padahal dia ditugaskan untuk melindungi nilai-nilai konstitusi. Oleh karena itu, perbaikan sistem pemilu akan dimulai dari proses perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di MK.

Pemisahan PHPU dan TSM
Pada kesempatan itu, Feri yang dikenal sebagai pemeran pada Film Dirty Vote ini menyarankan agar MK memisahkan peradilan PHPU dengan TSM atau proses yang bermasalah pada pemilu seperti yang dilakukan MK sebelum tahun 2008. Jika tidak, maka MK akan menjadi pengadilan kalkulator.

Peneliti senior di Universitas Andalas itu menyebut, pendekatan penggunaan perlindungan asas pemilu seperti diatur pada pasal 22E ayat 1 UUD 1945 bisa diterapkan dalam peradilan sengketa PHPU. 

Pasal tersebut menyebut bahwa proses pemilu tidak sekadar langsung umum bebas dan rahasia yang dilaksanakan sekali dalam lima tahun, tetapi ada asas jujur dan adil.

“Dan ini tidak bisa ditegakkan dengan menilai angka yang muncul,” katanya.

Selain itu, proses peradilan PHPU perlu memperhatikan pasal 3 UU Pemilu Nomor 7/2017 yang mengatur prinsip penyelenggaraan yang terbuka, profesional dan efektif. Padahal, KPU dianggap tertutup, tidak profesional terbukti dari Sirekap yang kacau.
Soal efektivitas dan efisiensi KPU pun dipertanyakan. Sejauh ini, Feri menilai KPU tidak efektif karena dengan teknologi yang ada saat ini, KPU sering mubazir menggunakan anggaran.

“KPU sering rapat, tiap bulan padahal ada Zoom dan KPU tidak mandiri terlalu bergantung pada Komisi II DPR padahal dia penyelenggara pemilu, sementara Komisi II DPR setidak-tidaknya akan menjadi peserta pemilu,” bebernya.

Feri menambahkan, sengketa Pilpres 2024 jangan hanya meributkan hasil, karena KPU sudah pasti memiliki data C Hasil yang lebih baik dibanding paslon.

“Sulit kalau berdasarkan pada C Hasil karena sudah direkayasa. Hasil itu bagian dari pork barrel (politik gentong babi),” pungkasnya.

Diketahui, dua paslon peserta Pilpres 2024, paslon nomor 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin) dan paslon nomor 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD telah mendaftarkan gugatan hasil Pilpres 2024 ke MK pada Sabtu (23/3/2024) sore. Sementara itu, tim hukum Amin mengajukan permohonan PHPU Pilpres 2024 ke MK pada Kamis (21/3).

KPU pada Rabu (20/3/2024) secara resmi mengumumkan paslon nomor 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menang dengan perolehan 96.214.691 suara. 

Sementara itu, Amin menempati urutan kedua dengan raihan 40.971.906 suara. Lalu, di urutan ketiga Ganjar -Mahfud mengantongi 27.040.878 suara.

Quote