Ikuti Kami

Demonstrasi 24-25 September Cenderung Brutal & Kasar

Maeda mengungkapkan pola aksi pergerakan di eranya, yakni di periode tahun 1998 hingga 2000-an, memiliki isu dan tuntutan yang jelas.

Demonstrasi 24-25 September Cenderung Brutal & Kasar
Kader PDI Perjuangan Maeda Yoppy Nababan.

Jakarta, Gesuri.id - Kader PDI Perjuangan Maeda Yoppy Nababan menilai aksi demonstrasi mahasiswa dan pelajar pada 24-25 September 2019 terlihat tidak natural, cenderung brutal dan kasar.

Maeda mengatakan, tindakan para peserta aksi yang merusak motor warga, memblokir jalan hingga membakar sesuatu yang menghalangi jalur kereta justru merugikan kepentingan masyarakat. 

Baca: Demonstrasi Mahasiswa Jangan Ditunggangi Barisan Sakit Hati

Maeda, yang juga mantan aktivis mahasiswa ini, membandingkan aksi demonstrasi 24-25 September dengan pergerakan mahasiswa di era ketika dirinya menjadi aktivis mahasiswa. 

Dia mengungkapkan pola aksi pergerakan di eranya, yakni di periode tahun 1998 hingga 2000-an, memiliki isu dan tuntutan yang jelas. Ada proses yang dilakukan secara terbuka dan selalu melibatkan wartawan dan media. 

"Biasanya sebelum menggelar aksi demonstrasi, semua aktivis dari berbagai perwakilan dan lintas organisasi maupun komite aksi, kumpul semua untuk diskusi dan menyamakan persepsi dan respon terhadap berkembangnya suatu isu, kebijakan atau usulan yang dikeluarkan pemerintah atau lembaga legislatif," kata Maeda kepada Gesuri, Kamis (26/9). 

Setelah itu, lanjut Maeda yang juga mantan aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) ini, disusunlah sikap bersama yang dituangkan ke dalam pernyataaan sikap bersama sehingga menjadi bahan press release ke media. 

Maeda mengakui, gerakan mahasiswa di era nya juga sering mmelakukan aksi keras. Ketika demonstrasi yang digelar tidak direspon atau tidak diterima, gerakan mahasiswa di eranya dulu juga meletupkan kekesalan dan kemarahan. 

"Pernah juga menggoyang pagar halaman DPR hingga roboh. Tap kami tidak pernah memukul polisi yang sedang dinas sendirian, apalgi sampai menghalangi jalur kereta," ujar Maeda. 

Maeda juga menjelaskan, di masa sebelum pemerintahan Presiden Jokowi, banyak persoalan publik yang tidak tertangani baik oleh pemerintah. 

Proses menuju aksi dan demonstrasi itu, lanjut Maeda, pada umumnya selalu didahului pemberian informasi terlebih dahulu ke media dan juga ke pihak polisi. 

Hal itu karena gerakan mahasiswa kala itu menyadari target aksi adalah memberikan opini yang berbeda dari usulan dan kebijakan yang tengah dirancang dan dibahas pemerintah dan DPR. Jadi, membuat kerusuhan tidaklah menjadi target.

"Aktivis mahasiswa pada era pasca reformasi selalu punya nama organisasi atau komite aksi dengan isu dan program tuntutan yang jelas. Masing-masing punya misi dan program yang jelas. Umumnya kami dulu memiliki basis advokasi yang jelas, ada yang mengadvokasi kaum miskin perkotaan, buruh, perempuan, ataupun petani," kata Maeda.

Baca: Aksi 24 September, Demonstrasi Paling Liberal Dalam Sejarah

Maeda pun memiliki penilaian terhadap organisasi intra kemahasiswaan seperti BEM kampus yang kini berada di garda terdepan gerakan mahasiswa. Menurut Maeda, mereka sejak awal pergerakan reformasi cenderung menjadi organisasi kampus yang elitis. 

Mereka jarang bersentuhan langsung dengan berbagai kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Organ-organ intra kampus itu juga jarang melalukan kerja-kerja advokasi langsung di tengah masyarakat.

"Banyak aktivis dan organisasi pergerakan murni mengkritik sikap BEM yang terkadang sering bawa isu politik tapi tidak berpihak pada masyarakat langsung. Sepertinya watak organisasi kampus BEM masih belum berubah," ujar Maeda.

Quote