Jakarta, Gesuri.id - Pemikir kebhinekaan Sukidi menyebut ikhtiar mencintai Indonesia demi menyelamatkan demokrasi dan konstitusi tidak boleh luntur dengan alasan frustasi melihat kondisi perpolitikan saat ini. Ia mengajak semua yang masih mencintai Indonesia untuk berani bersuara ketika penguasa seleweng.
Sukidi berkata demikian saat menjadi pembicara diskusi Hukum Sebagai Senjata Politik di Aula Grha, Ampera, Jakarta Selatan, Rabu (19/6).
"Kepada tanah air, harapan harus selalu disematkan. Harapan harus selalu diberikan," kata aktivis Muhammadiyah itu, Rabu.
Sukidi mengatakan Indonesia sebenarnya memiliki tokoh yang bisa dijadikan sebagai panutan dalam berikhtiar menyelamatkan demokrasi dan konstitusi.
Dia pun menyinggung sosok Presiden kelima RI Prof. DR. (HC) Megawati Soekarnoputri yang teruji sejarah dan secara konsisten memperjuangkan reformasi di Indonesia.
"Seorang perempuan dan warga negara itu bernama Megawati Sukarnoputri. Megawati Sukarnoputri telah teruji dalam sejarah untuk melakukan kultur pelawanan terhadap otoritarianisme," ungkap Sukidi.
Dari situ, kata dia, sikap netral dan diam bisa menjadi bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi ketika iklim demokrasi di Indonesia mau dibawa menuju otoritarianisme.
Seharusnya, kata Sukidi, rakyat Indonesia bisa mengacu sikap Megawati yang secara konsisten melawan segala bentuk otoritarianisme.
"Oleh karena itu ketika reformasi ingin diputar balik ke arah otoritarianisme, yang dalam tradisi politik disebut sebagai the authoritarian turn dan itulah yang terjadi pada kita hari-hari ini, maka sikap netral, sikap diam, sikap sembunyi adalah bagian dari pengkhianatan terhadap cita-cita pendiri bangsa dan juga cita-cita reformasi. Megawati Sukarnoputri memberikan satu sikap yang tegas," katanya.
"Demokrasi harus dirawat, harus diselamatkan dari bahaya populisme otoriter. Begitu juga konstitusi, itu harus diselamatkan dari praktek permainan kasar konstitusional," ungkap Sukidi.