Ikuti Kami

Aria Bima: Penulisan ‘Sejarah Enam Jilid’ Harus Jujur Catat Peran Bung Karno

Sejarah harus mencatat secara jujur, termasuk dalam peran, pemikiran, dan kontribusi Bung Karno untuk negeri ini.

Aria Bima: Penulisan ‘Sejarah Enam Jilid’ Harus Jujur Catat Peran Bung Karno
Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Aria Bima.

Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Aria Bima, menegaskan pentingnya penulisan sejarah Indonesia yang jujur dan utuh, khususnya dalam mencatat peran dan kontribusi Bung Karno. Ia mengingatkan agar praktik manipulatif dalam sejarah seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru tidak kembali terulang.

“Jangan ulangi penulisan ’sejarah enam jilid’ ala Orde Baru. Sejarah harus mencatat secara jujur, termasuk dalam peran, pemikiran, dan kontribusi Bung Karno untuk negeri ini,” kata Aria Bima, dikutip pada Senin (30/6/2025).

Ia merujuk pada buku Sejarah Nasional Indonesia Enam Jilid yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975. Menurutnya, buku tersebut sarat dengan kepentingan rezim Orde Baru, terutama dalam rangka proyek desukarnisasi yang secara sistematis mengaburkan peran penting Bung Karno.

“Kita masih ingat sejarah enam jilid versi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang diterbitkan tahun 1975. Sarat kepentingan Orde Baru, khususnya dalam proyek desukarnisasi. Di jilid keenam, peran Bung Karno sebagai penggali Pancasila dikaburkan,” ungkapnya.

Aria Bima menyayangkan bagaimana narasi penggalian Pancasila dalam sejarah tersebut digantikan oleh versi Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) versi Muhammad Yamin. Padahal, narasi ini telah dibantah secara akademis oleh berbagai penelitian, termasuk oleh A.B. Kusumo dari Universitas Indonesia melalui kajian dokumen otentik dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945.

“Diganti dengan narasi BPUPK versi Muhammad Yamin. Padahal versi ini sudah terbantahkan melalui dokumen otentik yang diteliti A.B. Kusumo, dosen dari Unitas Indonesia. Dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945,” jelasnya.

Meskipun demikian, Aria Bima menolak Bung Karno dikultuskan. Ia menekankan bahwa penulisan sejarah harus tetap dilakukan secara objektif, bukan untuk mengagungkan, melainkan untuk memberikan gambaran yang utuh dan adil tentang seorang tokoh bangsa.

“Saya pribadi tidak sepakat jika Bung Karno dikultuskan dalam penulisan sejarah. Namun saya meyakini sejarah tetap harus mencatat secara jujur apa yang benar-benar telah beliau kerjakan dan persembahkan. Untuk Republik ini bukan untuk mengagumkan, melainkan untuk menghadirkan gambaran yang utuh tentang peran, pemikiran, dan kontribusi beliau sebagaimana adanya,” ungkapnya.

Lebih jauh, ia menekankan bahwa rakyat berhak mengetahui sejarah para tokohnya secara adil dan menyeluruh—bukan hanya narasi keberhasilan, tapi juga sisi gelap dan kelamnya. Sejarah, menurutnya, adalah media pembelajaran antargenerasi.

“Sebab rakyat berat mengetahui dan menilai sejarah tokoh-tokohnya secara adil, jujur, dan menyeluruh. Sejarah bukan hanya perkara kegemilangan dan kejayaan. Sejarah juga soal penderitaan, kekelaman, dan kehilangan, kegeliruan, tetapi harus dituliskan bukan untuk bahan ratapan. Namun pelajaran bagi generasi baru. Pelajaran untuk menghindari keburukan dan menjadi lebih beradab ketimbang para pendahulunya,” pungkasnya.

Quote