Ikuti Kami

Jalan Berbayar di DKI, Usulan Perda Belum Layak Diterima

Gilbert: Ide ini sebenarnya dari sejak Anies, tapi baru sekarang masuk ke komisi B mulai dibahas dan terbuka ke publik.

Jalan Berbayar di DKI, Usulan Perda Belum Layak Diterima
Legislator PDI Perjuangan Gilbert Simanjuntak.

Jakarta, Gesuri.id - Legislator PDI Perjuangan Gilbert Simanjuntak menilai usulan jalan berbayar atau electronic road prising (ERP) di Jakarta belum layak diterima. Dia meminta Pemprov DKI tidak menggampangkan keluhan masyarakat.

Baca: Dongkrak Wisman, Putra Desak Ubah Mentalitas Bangsa

Gilbert awalnya menyebut ide jalan berbayar ini sebelumnya sudah ada di era Gubernur Anies Baswedan. Usulan ini juga sempat masuk ke Komisi B DPRD DKI Jakarta, namun tidak dibahas lebih lanjut.

"Ide ini sebenarnya dari sejak Anies, tapi baru sekarang masuk ke komisi B mulai dibahas dan terbuka ke publik. Pernah oleh Bapemperda sekitar Juni 2022. Lalu Komisi B mengatakan tidak layak dibahas lebih lanjut, karena pendapat masyarakat harusnya didengar setidaknya rapat di Komisi B. Waktu itu sama sekali tanpa kajian, langsung mau jadi Perda," kata Gilbert kepada wartawan, Jumat (27/1).

Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta itu menyebut kajian mengenai ERP ini telah masuk ke Komisi B. Namun, kata dia, kajian itu baru masuk beberapa hari yang lalu.

"Kajian baru disampaikan 2 hari yang lalu dan terdengar ke publik sekitar 2 minggu, dan sekilas mayoritas menolak," ujarnya.

Mengenai rencana jalan berbayar ini, sejumlah pengemudi ojek online menyuarakan penolakan. Gilbert menyarankan driver ojol itu mendatangi Dishub DKI Jakarta.

"Ojol bukan termasuk angkutan umum, tentu tidak bisa masuk yang gratis. Kalau memang masyarakat menolak, sebaiknya didatangi ke Dishub agar pengajuan Perda ini ditarik," tutur dia.

Menurut Gilbert, dasar usulan jalan berbayar di Ibu Kota ini tidak jelas. Dia menambahkan bahwa kajian juga kurang memperhatikan mobilitas masyarakat.

"Dasarnya juga tidak jelas. Terkesan terlalu meremehkan dengan membuat 25 jalur ga-ge jadi berbayar. Seakan kalau berbayar masyarakat akan tidak naik kendaraan dan menggunakan kendaraan/transportasi umum yang belum nyaman. Kajian itu saya lihat kurang memperhatikan masyarakat yang hidup dari transportasi seperti ojol, dan masyarakat yang mobilitasnya tinggi," jelasnya.

Lebih lanjut, Gilbert menyebut rencana ERP ini belum dibahas di Komisi B sebab pihak eksekutif tidak hadir dengan serius. Karena itu, dia menilai usulan jalan berbayar ini tidak layak diterima.

"Belum ada (rapat dengan Komisi B), batal 2 kali karena eksekutif tidak hadir dengan serius. Terlalu menggampangkan perasaan masyarakat, sepertinya usulan Perda ini tidak selayaknya diterima dahulu," kata dia.

Pembahasan aturan terkait ERP ini, kata Gilbert, bisa lama dan bisa juga cepat. Dia kemudian menyoroti penghasilan dari jalan berbayar ini.

"Ini bisa lama atau bisa kilat, tergantung kepentingan. Dalam paparan yang disampaikan ini akan dilelang, atau dikelola swasta. Dengan kendaraan yang lalu lalang 88 juta/hari, tarif 5-19 ribu per sekali jalan. Kita ambil angka moderat: 40 juta x 10 ribu, 400 miliar sehari untuk sekali jalan. Siapa swasta yang mendorong ini agar terlaksana dan mengorbankan masyarakat?" ujar Gilbert.

"Bayangkan dengan penghasilan kelompok menengah 10-20 juta/bulan, apakah mereka rela mengeluarkan sebegitu besar biaya bulanan untuk transportasi?" imbuhnya.

Baca: Sistem Proporsional Terbuka Langgengkan Politik Kapital

Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyampaikan, penerapan jalan berbayar elektronik masih dibahas. Dia menegaskan masih ada tujuh tahapan, termasuk mendengar keluhan masyarakat.

"Ya itu masih pembahasan, masih 7 tahapan, kita masih perlu mendengar kepentingan, masih perlu mendengar keluhan masyarakat dan tidak serta merta, yaitu langsung diterapin juga," kata Heru di Kecamatan Jagakarsa, Jumat (27/1).

Quote