Jakarta, Gesuri.id - Bung Karno mengatakan: Jasmerah. Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah. Masalahnya, sejarah seringkali ditentukan penguasa. Dan tafsir penguasa seringkali menjadi tafsir tunggal dan menampik keberagaman versi yang pada akhirnya tidak hanya mengaburkan masa lalu, tapi juga berpotensi membunuh masa depan.
Kita tahu bagaimana Bung Karno tidak hanya dihabisi citranya, tapi juga sejarah baiknya untuk negeri ini, oleh Orde Baru. Marhaenisme sebagai gagasan besar kebangsaan tidak diperkenalkan selayaknya di sekolah-sekolah, dan malah dianggap seolah-olah gagasan berbahaya. Jejak Bung Karno dalam memunculkan Pancasila dengan tafsir yang memerdekakan diberangus oleh Orde Baru.
Mungkin karena itulah pembentukan Badan Sejarah Indonesia dalam struktur Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan menjadi sangat relevan. Ini adalah upaya untuk melawan lupa, sebagaimana dirisalahkan Franz Kafka. “Mengingkari sejarah membuat sebuah bangsa sering jatuh pada kesalahan demi kesalahan,” demikian cuitan akun resmi DPP PDI Perjuangan di X.
Penunjukan Bonnie Triyana sebagai Ketua Badan Sejarah Indonesia DPP PDI Perjuangan sudah sangat tepat. Dia sosok yang memahami bagaimana sejarah diperlakukan. Bonnie memiliki rekam jejak kuat, bukan hanya dalam latar belakang pendidikan maupun penulisan sejarah, namun juga advokasi terhadap peninggalan sejarah.
Bonnie pernah mengadvokasi pemulihan bekas sekolah Sarekat Islam di Semarang yang telah rusak. Dia juga membantu Pemerintah Kabupaten Lebak di Banten mengubah gedung bekas kantor wedana yang dibangun pada 1923 menjadi Museum Multatuli di Rangkasbitung.
Tentu Bonnie Triyana punya tugas yang tidak ringan. Badan ini tidak hanya formalitas, namun diharapkan memberikan sumbangsih keilmuan dan metodologis. Bukan saja untuk meluruskan sejarah yang dibengkokkan, tapi juga mengedukasi publik. Publik yang diindoktrinasi oleh satu versi sejarah oleh Orde Baru selama puluhan tahun harus disadarkan bahwa sejarah memiliki ruang yang sangat terbuka atas tafsir dan fakta-fakta baru.
Lembaga pendidikan sebagai kunci pengajaran sejarah tidak boleh abai terhadap peluang-peluang dan tafsir-tafsir baru. Hal yang terpenting adalah tidak boleh ada upaya untuk menggunakan tangan-tangan kekuasaan untuk mendikte satu versi sejarah yang menguntungkan satu atau dua pihak. Membaca dan menulis sejarah membutuhkan kejujuran kebesaran hati.
Badan Sejarah Indonesia DPP PDI Perjuangan pastinya sudah menyusun rencana-rencana taktis dan strategis. Kita tidak ingin membiarkan bangsa Indonesia seperti apa yang dikatakan filsuf George Santayana. “Those who do not remember the past are condemned to repeat it.” Siapa yang tidak mengenang masa lampau akan dikutuk untuk mengulanginya.
Sejarah umat manusia bagaikan perlombaan antara edukasi dan katastrofi, kata H.G. Wells. Pendidikan dan bencana. Kepandaian dan kebodohan. Kita sudah sering kalah dalam perlombaan itu, dan membuat bangsa ini terjerumus dalam bencana dan kegagalan merancang arsitektur masa depan dengan pijakan sejarah yang benar.
Peristiwa berdarah 27 Juli 1996, peristiwa penyerangan terhadap kantor DPP PDI, memberi kita pelajaran bahwa tak ada kekuasaan yang bisa meruntuhkan kehendak rakyat, kecuali kuasa Tuhan. Dan kita tahu, Tuhan tak pernah merestui tirani yang membungkam suara rakyat dan menyita kebebasan yang dianugerahkan-Nya sebagai bagian dari harkat-martabat manusia.
Hari itu, tidak ada yang mengira bahwa 27 Juli 1996 menjadi bagian dari awal pertanda perubahan besar di Republik. Peristiwa 27 Juli 1996 adalah letupan yang kian memuncak dari eskalasi gerakan rakyat yang mendukung Megawati melawan Orba—setelah dimulai pada KLB PDI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, 2-6 Desember 1993; ketika untuk kali pertama tantangan terbuka dilayangkan kepada rezim Orde Baru.
27 Juli 1996 membawa perubahan besar: orang pada akhirnya berani berkata tidak, setelah puluhan tahun dipaksa setuju tanpa ada tempat berdebat dan berpendapat. Dan pada 27 Juli 1996, kita menjadi saksi datangnya kepemimpinan yang ditempa oleh kerasnya besi tirani. Sebuah kepemimpinan yang tak mau menjadi bebek, melainkan elang yang berani terbang sendirian seperti kata Bung Karno. Kepemimpinan yang memahami: untuk meluruskan dan meraih cita-cita bangsa, dibutuhkan keberanian dan tekad kuat. Kepemimpinan seorang Megawati Soekarnoputri.
Maka sudah benar jika kemudian PDI Perjuangan menggunakan peringatan Peristiwa 27 Juli sebagai momentum untuk memperkuat dan memulai langkah kemenangan sejarah bagi bangsa Indonesia dengan memberikan kesempatan bagi mereka yang tak pernah bersuara untuk menyuarakan tafsir mereka atas sejarah, salah satunya melalui pembentukan Badan Sejarah.
Kita tidak boleh lagi menjadi orang yang tidak banyak mengambil hikmah yang diberikan sejarah. “That men do not learn very much from the lessons of history is the most important of all the lessons of history,” kata penulis Aldous Huxley.
Maka belajarlah. Bekerjalah. Menyejarahlah.