Ikuti Kami

Dibalik Tirai Pandemi Covid-19

Oleh: Dr. Harris Turino, Politisi PDI Perjuangan, Doctor in Strategic Management.

Dibalik Tirai Pandemi Covid-19
Dr. Harris Turino, Politisi PDI Perjuangan, Doctor in Strategic Management.

Jakarta, Gesuri.id - Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa di abad modern ini akan ada sebuah pandemi yang mampu memaksa orang untuk berdiam diri di rumah untuk dianggap sebagai pahlawan kesehatan dan menciumin bau ababnya sendiri di balik masker kalau terpaksa hendak keluar rumah. 

Bersalamanpun haram hukumnya, apalagi cipika-cipiki, walau dengan sesama jenis. 

Tetapi di balik semua itu pandemi Covid-19 menguak banyak misteri yang selama ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Pertama soal ketahanan fasilitas layanan kesehatan Indonesia. Saat ini data Worldometers Covid-19 menunjukkan bahwa kasus aktif di Indonesa sebanyak 373.440. 

Kasus aktif adalah jumlah semua orang yang sudah terinfeksi Covid-19 dikurangi dengan jumlah orang yang sudah sembuh dan orang yang meninggal. 

Dengan asumsi bahwa 20% dari kasus aktif ini membutuhkan fasilitas layanan kesehatan, baik Puskesmas maupun Rumah Sakit, berarti dibutuhkan sekitar 75.000 ranjang rumah sakit di mana seperempat di antaranya (5%) membutuhkan perawatan intensif ICU atau sekitar 18.500 orang. 

Saat ini boleh dikatakan hampir semua rumah sakit di kota-kota besar di Indonesia sudah kolaps. Hal ini ditandai dengan membludaknya jumlah pasien, termasuk di tenda-tenda darurat yang dibangun di depan banyak rumah sakit, dan BOR (bed occupancy ratio) yang sudah mendekati bahkan beberapa di antaranya melampaui 100%. 

Mari kita bandingkan dengan Amerika Serikat, yang boleh dikatakan sudah hampir lulus dari pandemi Covid-19. 

Jumlah kasus aktif di Amerika saat ini mencapai 4.865.736, yang membutuhkan hampir 1 juta ranjang rumah sakit dan 250.000 ruang perawatan intensif ICU. Dengan jumlah kasus aktif 12 kali lipat dari Indonesia, tidak ada isu mengenai kurangnya rumah sakit di Amerika, bahkan beberapa rumah sakit di banyak negara bagian sudah tidak ada lagi melayani pasien Covid-19, karena jumlahnya sudah sangat sedikit. Padahal dari sisi jumlah penduduk perbedaannya tidak terlalu jauh, Amerika memiliki 342 juta dan Indonesia 275 juta. 

Dari sini ada satu pelajaran berharga bahwa ke depannya Indonesia perlu menata ulang fasilitas layanan kesehatan, yang ternyata sangat terbatas dan rapuh, baik di tingkat yang paling rendah, yaitu Puskesmas, maupun di tingkat yang paling tinggi. 

Tidak mengherankan bila banyak penduduk Indonesia yang masih tidak bisa menjangkau layanan kesehatan, sementara kelompok lapisan tertinggi masyarakatnya lebih senang berobat ke Singapura, Malaysia, bahkan Thailand. Layanan kesehatan level pratama, yaitu Puskesmas harus lebih diberdayakan dan layanan kelas utama harus ditata ulang. Berapa banyak nyawa yang bisa diselamatkan dan devisa yang dihemat bila kedua hal ini dilakukan dengan serius.

Kedua, pandemi Covid-19 juga menguak banyak penyakit kronis yang selama ini sebenarnya diderita oleh banyak penduduk Indonesia, tetapi sama sekali tidak terdeteksi. Dua yang paling dominan adalah darah tinggi dan kencing manis. 

Banyak “orang yang merasa sehat” tidak bisa divaksin karena tekanan darahnya ternyata jauh di atas angka normal. Padahal selama ini mereka merasa sehat-sehat saja. Pada banyak kasus pasien dengan gejala sedang dan berat yang dirawat di rumah sakit, juga ternyata menderita kencing manis dan penyakit-penyakit kronis lainnya. Padahal selama ini mereka juga tidak merasa memiliki “pabrik gula” di tubuhnya. 

Penyakit kronis berbahaya ini tentu saja secara agregat akan mengurangi usia harapan hidup manusia, atau setidaknya menurunkan kualitas hidup pada orang-orang usia lanjut di Indonesia. 

Ke depannya ini juga menjadi pekerjaan rumah yang serius bagi pemerintah untuk menciptakan sistem deteksi dini terhadap penyakit kronis, terutama untuk masyarakat kelas bawah.

Ketiga, pandemi ternyata juga memunculkan banyak perilaku irasional dari masyarakat. Ini bukan hanya monopoli bangsa Indonesia, di negara lainpun hal ini terjadi. Kita masih ingat beberapa penduduk fanatik di negara-negara bagian di Amerika yang meminum cairan disinfektan untuk “menyembuhkan Covid-19”. 

Di India banyak orang berendam kotoran sapi, binatang yang dianggap suci di negara tersebut, untuk menangkal Covid-19. Sementara di Indonesia banyak sekali yang memborong susu beruang dan meminum minyak kayu putih sebagai terapi terhadap Covid-19. 

Di banyak negara, termasuk Indonesia, ada sebagian penduduk yang masih memiliki ketidak-percayaan terhadap adanya Covid-19. 

Akibatnya tentu saja mereka menolak memakai masker, menolak menjalankan protokol kesehatan dan menolak vaksinasi dengan berbagai alasan, walaupun sudah jutaan orang yang meninggal karena Covid-19. 

Tindakan irasionalitas ini menular, walau jumlahnya bervariasi dari satu negara ke negara lain. 

Keempat, akibat penerapan PSBB, lalu dilanjutkan dengan PPKM Mikro dan PPKM Darurat banyak orang yang bekerja di rumah. 

Ternyata data menunjukkan kekerasan dalam rumah tangga meningkat. Anehnya juga dibarengi dengan angka kehamilan dan kelahiran bayi yang juga meningkat. 

Seolah ini adalah suatu kontradiksi, tetapi ketika didalami lebih lanjut, ditemukan fenomena yang unik. 

Walaupun sama-sama ada unsur “keras”, tetapi ternyata yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan yang hamil adalah orang yang berbeda. 

Kelima, gotong royong yang selama ini dianggap sudah punah di negeri ini ternyata masih ada bahkan menonjol terutama di kalangan masyarakat bawah di tengah pandemi. 

Banyak masyarakat yang tolong-menolong dalam menyediakan makanan bagi tetangga dan kerabat yang sedang isolasi mandiri di rumah bahkan ada yang saling menitipkan anak-anak atau saudaranya di tetangga dan kerabatnya jika keluarga tersebut terinfeksi Covid-19. 

Jadi benar apa yang dikatakan oleh Bung Karno bahwa gotong-royong memang adalah budaya dan falsafah yang hidup di masyarakat Indonesia.

Mari kita taati protokol kesehatan agar bangsa ini bisa melewati masa yang tidak mudah ini dengan sukses. Salam sehat selalu.

Quote