Ikuti Kami

Gelombang Tsunami Covid-19 di India

Oleh: Dr. Harris Turino, Politisi PDI Perjuangan yang juga Pendiri Gerakan Pakai Masker.

Gelombang Tsunami Covid-19 di India
Dr. Harris Turino, Politisi PDI Perjuangan yang juga Pendiri Gerakan Pakai Masker.

Jakarta, Gesuri.id - Pada Rabu 28 April 2021, India kembali mencatatkan rekor terburuk kematian harian akibat Covid-19. 3.293 orang meninggal hari ini dan jumlah kematian total di India mencapai di atas 200.000 orang. Ini menjadikan India menjadi negara dengan jumlah kematian terbesar keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Brazil dan  Mexico. 

Angka penularan harian menduduki peringkat tertinggi di dunia, yaitu 326.757 orang. Seluruh rumah sakit sudah lumpuh total. Tidak ada lagi kamar yang tersedia bahkan obat-obatan dan oksigen juga sudah kosong sejak minggu lalu. Pasien terpaksa dibiarkan meregang nyawa terengah-engah di teras dan selasar rumah sakit. Bahkan banyak yang meninggal di mobil-mobil yang terparkir di halaman rumah sakit. 

Krisis terbaru yang mencolok minggu ini adalah tidak cukupnya tempat pembakaran mayat, walaupun sudah dibangun puluhan krematorium sementara di lapangan-lapangan terbuka. Antrian jenasah berjejer di jalanan atau di dalam mobil jenasah yang berisi 2-3 jenasah menunggu proses pembakaran. Bahkan ada yang sudah antri 2-3 hari sehingga menimbulkan bau yang mulai menyengat. 

Ya bagaimana mungkin mampu membakar jenasah sebanyak hampir 4.000 orang per hari? Apalagi menggunakan kayu bakar yang tentu membutuhkan waktu lama, yaitu sekitar 6-7 jam. Kalau masing-masing tempat pembakaran dioperasikan 24 jam sehari, satu tempat pembakaran hanya mampu membakar 4 jenasah.

Maka dibutuhkan 1.000 tempat krematorium. Bayangkan di seluruh kota Jakarta, Bandung, Surabaya dan Semarang aja, jumlahnya ditotal pasti tidak lebih dari 50 tempat krematorium. Lah ini India butuh 1.000. Ya akibatnya antrian semakin panjang dan jenasah semakin menumpuk. 

Bagi kita yang tidak mengalaminya, ini hanyalah angka-angka statistik belaka. Tetapi bagi keluarganya, ini adalah duka dan nestapa yang mendalam, melihat orang-orang yang kita kasihi tersengal-sengal kesulitan bernafas tanpa ada pertolongan medis, hingga akhirnya meninggal tanpa bisa dibakar dengan layak. 

Maka dari itu, ayo kawan, jangan sampai kita mengikuti jejak India. Kalau kita tidak tertib, Indonesia akan mengalami gelombang kedua yang jelas jauh lebih parah. Bisa-bisa kitalah yang bakalan mengalami, menguburkan orang-orang yang kita cintai. Dan ketika itu terjadi, nangis bombai pun sudah terlambat. Caranya gampang, cukup patuhi protokol kesehatan dan jangan mudik. Pilihan di tangan kita. Yuk kita sepakat menjaga keluarga kita sambil menyelamatkan Indonesia. 

Gelombang Kedua

India mengalami penyebaran covid-19 gelombang kedua. Gelombang pertama terjadi pada bulan Agustus-Nopember 2020 dengan jumlah kasus tertinggi di angka 100.000 kasus baru per hari. Saat itu semua rumah sakit di kota besar di India kewalahan.

Ruang-ruang perawatan penuh dan ICU sudah tidak bisa menampung pasien baru yang terus berdatangan. Sehingga terpaksa dipilih dan dipilah “mana yang masih punya peluang untuk diselamatkan.” Akibatnya jumlah kasus kematian harian mencapai 1.200 orang. 

Lockdown, pengetatan protokol kesehatan dan vaksinasi ternyata mampu menurunkan angka penyebaran covid-19 di India pada periode Desember 2020 – Maret 2021. Penambahan angka covid-19 berhasil ditekan sampai ke angka 10.000 kasus per hari. Ephoria “kemenangan” atas covid-19 dirayakan terlalu awal.

Atas nama sosial dan ekonomi, perjalanan darat dan udara dilonggarkan sampai kapasitas maksimum. Di mana-mana acara pesta dan ritual agama diselenggarakan tanpa protokol kesehatan sama sekali. 

Akibatnya India memasuki tsunami kasus covid-19. Hanya dalam 18 hari meningkat menjadi 350.000 kasus baru per hari. Amerika sang jawara covid-19 saja tidak pernah mengalami penambahan kasus sebesar ini.

Padahal fasilitas kesehatan di Amerika jelas lebih banyak dan mumpuni dibandingkan India. Seluruh rumah sakit di kota besar di India praktis lumpuh. Tidak ada lagi tempat untuk merawat pasien baru. Bahkan oksigen pun tidak tersedia.

Kalau pada gelombang pertama masih bisa dipilih mana yang akan diselamatkan, sekarang pilihanpun tidak ada. Banyak pasien yang dibiarkan menjemput maut dengan nafas yang tersengal di halaman dan selasar rumah sakit, tanpa sekalipun pernah mendapatkan penanganan yang berarti. Akibatnya kasus kematian mencapai 2.750 orang per hari. 

Haruskah kita berbuat kesalahan yang sama dengan India? Kita punya karakteristik yang mirip dengan India, yaitu dari sisi demografi, yaitu jumlah penduduk besar, agama mayoritas penduduk (India kebanyakan beragama Hindu dan kita beragama Islam), sama-sama negara demokratis, dan sama-sama bukan negara kaya yang punya sumber daya yang tidak tak terbatas.

Rp. 130 triliun sudah dibelanjakan pemerintah untuk melaksanakan 3 T (testing, tracing dan treatment) serta vaksinasi dan lebih dari Rp. 600 triliun digunakan untuk bantuan sosial. Jangan sampai semua uang itu sia-sia kalau penanganan covid-19 harus mulai lagi dari titik nadir lagi. 

Ayo Bung, mas, mbak, kita tetap jaga protokol kesehatan dan jangan mudik. Bukan demi kita semata, tetapi demi anak cucu kita. Kita harus menang melawat Covid-19 dan masa depan bangsa ini ada di tangan kita. Merdeka!

Quote