Ikuti Kami

Soeharto Perlakukan Soekarno Lebih Kejam dari Belanda

Abidin menjelaskan, tahun 1965, kekesalan imperialisme  kepada  Bung Karno mencapai titik kulminasinya.

Soeharto Perlakukan Soekarno Lebih Kejam dari Belanda
Presiden Pertama RI Soekarno (Bung Karno).

Jakarta, Gesuri.id - Mengenang 51 Tahun wafatnya Bung Karno, Bapak Bangsa Indonesia (21 Juni 1970 - 21 Juni 2021), Ketua Panitia Bulan Bung Karno 2021 DPP PDI Perjuangan, Abidin Fikri mengungkapkan rangkaian sejarah seputar kejatuhan Sang Proklamator dari kursi kepresidenan. 

Abidin menjelaskan, tahun 1965, kekesalan imperialisme  kepada  Bung Karno mencapai titik kulminasinya. Bermula dari desas-desus yang sengaja berhembus kala itu, yakni Dewan Jenderal yang diisukan hendak mengkudeta Bung Karno.

"Gejolak politik keamanan  dalam negeri memanas.  Inilah waktu dimana terjadi tsunami politik, tragedi kemanusiaan yang semua bermuara untuk merongrong wibawa Presiden, dan Bung Karno menjadi pusaran titik korban dari gejolak itu. Bung Karno dituduh mengkudeta dirinya sendiri," ujar Abidin. 

Baca: Bung Karno dan Tahun Vivere Pericoloso

Abidin, yang juga Anggota DPR-MPR RI itu menyatakan, Bung Karno dijatuhkan melalui Surat Perintah (SP) 11 Maret atau Supersemar yang sampai kini tak pernah ditemukan surat aslinya. Situasi politik dan keamanan benar-benar berubah.

Tafsir atas SP 11 Maret membuat kekuasaan Bung Karno terlikuidasi. Abidin mengungkapkan, menteri-menteri yang loyal terhadap Bung Karno ditangkapi. 

"Bahkan terjadi eksekusi tersistematis terhadap para pengikut Bung Karno hampir di seluruh wilayah tanah air," ujar Abidin yang juga Alumni GMNI itu.

Soekarno pun makin terisolir. Para penipu yang merupakan para 'arsitek' dan pendukung Soeharto atau Orde Baru pun terus bermain muslihat, menjatuhkan Bung Karno ke dalam kegelapan yang total dan mengerikan. 

"Bahkan perlakuan terhadap Bung Karno lebih kejam dari penjara isolasi Kolonial Belanda yang dulu ia rasakan," ungkap Abidin

Dalam jamuan-jamuan resmi, Bung Karno yang dikenal sebagai 'Bung Besar" hanya tampil sendirian. Tanpa rombongan menteri atau jenderal yang dulu selalu bersamanya. 

"Ia kehilangan hak untuk bergerak, kecuali ada izin dari yang berwenang. Seluruh pembicaraan telepon telah disadap, para pengunjungnya dicatat," ungkap Abidin.

Kekuatan Orde Baru, lanjut Abidin,  telah sukses membuat MPRS bersikap melalui Ketetapan. Mereka bermufakat menuduh Bung Karno teribat mengkudeta negara yang sedang Bung Karno pimpin sendiri. 

Baca: 21 Juni: Bung Karno Wafat, Jokowi Lahir

"Demonstrasi besar-besaran yang didukung kekuatan Orde Baru secara keras dan terbuka menyerang Sukarno. Pidato pertanggungjawaban yang Bung Karno namakan Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara ditolak MPRS," ujar Abidin. 

Di Istana Bogor, ungkap Abidin, Bung Karno jadi tahanan rumah. Ia dilarang melakukan kontak-kontak dengan penduduk setempat dan dilarang keluar daerah tanpa izin khusus. 

"Pada permulaan 1968 telah menjadi kenyataan keji bahwa Bung Karno telah disingkirkan sama sekali dari Panggung Politik negeri ini. Sidang Umum MPRS Pada 21 Maret 1968 mengangkat Soeharto sebagai presiden," ujar Abidin.

Quote