Ikuti Kami

Rokhmin Dorong Generasi Emas Jadikan Desa Basis Pembangunan Nasional

Rokhmin menegaskan maju mundurnya sebuah bangsa sangat bergantung pada generasi mudanya.

Rokhmin Dorong Generasi Emas Jadikan Desa Basis Pembangunan Nasional
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Rokhmin Dahuri.

Jakarta, Gesuri.id - Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Rokhmin Dahuri,tetap optimis karena Indonesia sangat dicintai Allah SWT, dengan  populasi terbesar ke 4 di dunia, hampir 300 juta. 

“Posisi geoekonomi Indonesia luar biasa diberkahi Allah SWT, karena 40 persen seluruh komoditas dan produk  dengan nilai 15 Triliun US Dolar per tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Sedangkan Indeks Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini baru 1,2 Triliun US Dolar,” ujar Rokhmin Dahuri saat menjadi pembicara pada pelantikan Badan Pengurus Nasional Generasi Emas Indonesia (BPN-GESID) periode 2023-2028 dengan tema “Menjadikan Desa Sebagai Basis Pembangunan Nasional Demi Terwujudnya Pemerataan Pembangunan Yang Berkeadilan ” digelar di Gedung Nusantara V DPR-MPR RI, Jakarta, Rabu (31/5).

Sayangnya, kita malas sekali karena posisi trend global bukan dimanfaatkan untuk memproduksi dan mengekspor tetapi dimanfaatkan untuk mengimpor dan konsumtif.

“Saya khawatir impor itu bukan karena kita tidak bisa berproduksi tapi kebejatan moral para pejabat, karena dari impor itu ada fee 1 ton itu 1000 rupiah. Maka petani kita bukan tidak mau memproduksi tapi dibombardir dengan impor,” tandasnya.

Baca: Rokhmin: Kemaritiman Berpotensi Buka Jutaan Lapangan Kerja

Pertanyaannya sudah 77 tahun merdeka sudah sampai mana? Faktanya walaupun 77 tahun kita merdeka hampir disemua bidang kehidupan ada peningkatan kalau dibandingkan dengan tahun 1945. Contohnya, tahun 1970 menurut BPS jumlah rakyat Indonesia yang miskin masih 60 persen, tahun 1996 jaman Pak Harto sudah sekitar 20 persen. Lalu tahun 2004 turun lagi menjadi 14 persen, tahun 2014 sudah 12 persen, tahun 2019 sebelum covid 9,2 persen. “Namun menurut versi BPS setelah covid rakyat yang miskin masih 9,6 persen, atau sekitar 27,5 juta orang. Garis kemiskinan itu munafik tidak benar, hanya 534 ribu per orang/bulan, cukup apa?” tegas Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kelautan dan Perikanan itu.

Garis kemiskinan yang realistis, jelasnya, menurut Bank Dunia yaitu sekitar 3,2 dolar US/orang/hari, atau 90 dolar US per bulan. Kalau kurs rupiah satu dolarnya 15 ribu, maka sekitar 1,5 juta per orang/bulan. Orang dianggap tidak miskin kalau pengeluarannya itu sekitar 1,3 juta perorang/bulan.

“Kalau garis kemiskinannya yang digunakan tidak munafik yaitu 1,3 juta perorang/bulan, orang yang miskin masih 60 persen. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian litbang Kompas yang bekerjasama dengan IPB University, pada 19 Desember tahun lalu, untuk makan cukup bergizi dan seimbang perlu uang 22.200 rupiah per hari,” ungkapnya.

Dalam kesempatan itu, Rokhmin Dahuri mengatakan, saat ini wilayah NKRI terdiri dari 74.957 desa (91% total wilayah NKRI) dan 9.139 kelurahan kota (9%). Sekitar 71% total penduduk Indonesia tinggal di wilayah perdesaan NKRI (BPS, 2021; Kemendes, 2021).

Sebab itu, sambungnya, apabila sebagian besar melewati 90% desa di Indonesia itu maju, sejahtera, mandiri, dan berkelanjutan (sustainable) maka Indonesia Emas (Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat) bakal terwujud paling lambat pada 2045 atau, sebaliknya! “Apalagi, pada umumnya wilayah pedesaan NKRI memiliki potensi pembangunan yang cukup besar,” katanya.

Lebih lanjut, Rokhmin menegaskan maju mundurnya sebuah bangsa sangat bergantung pada generasi mudanya. Menurut UU No.40/2009 tentang Kepemudaan, sekitar 42% penduduk Indonesia adalah pemuda (16 – 30 tahun).

Jumlah Penduduk Indonesia berdasarkan generasi pada 2020-2022.  Antara lain: pada 2020 Gen Z (10-24 th) berjumlah 67.190,90 atau 24,87 persen, dan Milenial (25-39 th) berjumlah 65.171,40 atau 24,12 persen.

Pada 2021 Gen Z (10-24 th) berjumlah 66.893,50  atau 24,20 persen, dan Milenial (25-39 th) berjumlah 65.402,30 atau 23,86 persen. Sedangkan pada 2022 Gen Z (10-24 th) berjumlah 66.742,60  atau 24,20 persen, dan Milenial (25-39 th) berjumlah 65.778,50 atau 23,86 persen.

Bahkan, sambungnya, dalam riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity (CCSU) pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. “Kalah dari negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Thailand,” tandas Profesor Emeritus, Shinhan University, Korea Selatan itu.

Hingga 2022, terangnya, peringkat GII (Global Innovation Index) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN.

Sementara, penilaian adopsi teknologi untuk peningkatan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang diukur dari faktor pengetahuan, teknologi, dan  kesiapan adopsi teknologi untuk masa depan Pada 2022, Indonesia berada pada urutan ke-51 dari 63 negara.

World Digital Competitiveness, jelasnya, adalah penilaian adopsi teknologi untuk peningkatan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang diukur dari faktor pengetahuan, teknologi, dan  kesiapan adopsi teknologi untuk masa depan.

Hingga 2019, Global Entrepreneurship Index Indonesia berada diurutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN. Jumlah wirausahawan di indonesia 3,1 persen. Sementara, Singaoura 8 persen, Malaysia 5 persen, Thailand 4 persen. “Sedangkan berdasarkan standar Bank Dunia, jumlah pengusaha minimal 7% dari jumlah penduduk,” ujarnya.

Selain itu, sambungnya, indeks aktivitas literasi membaca (Indeks Alibaca) Nasional pada 2019 termasuk di level rendah (37,32); 9 provinsi masuk dalam level sedang (26%); 24 provinsi masuk level rendah (71%); dan 1 provinsi masuk level sangat rendah (3%); Indeks Alibaca tertinggi berada di Provinsi DKI Jakarta (58,16).

Status Gizi Bangsa Indonesia

Pada kesempatan tersebut, Rokhmin menyebutkan empat indikator kinerja kedaulatan pangan nasional. Yakni, produksi pangan, khususnya bahan pangan pokok lebih besar dari konsumsi nasional; setiap warga Negara di seluruh wilayah NKRI mampu mendapatkan bahan pangan pokok yang bergizi, sehat, dan mencukupi sepanjang tahun; serta petani, nelayan, peternak dan pelaku usaha sejahtera. “Tidak kalah pentingnya, semua hal di atas itu harus berkelanjutan (sustainable),” tutur Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Yang mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

“Berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, bahwa 30.8% anak-anak kita mengalami stunting growth (menderita tubuh pendek), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” tandasnya.

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, kata UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” kata Rokhmin.

Tak heran, bila kapasitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) bangsa Indonesia hingga kini baru berada pada kelas-3 (lebih dari 75 % kebutuhan teknologinya berasal dari impor). Sementara menurut Unesco suatu bangsa dinobatkan sebagai bangsa maju, bila kapasitas Iptek-nya mencapai kelas-1 atau lebih dari 75 % kebutuhan Iptek-nya merupakan hasil karya bangsa sendiri.

Selain itu, biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020). “Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022),” ujar Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.

Rokhmin menyebutkan, jumlah wirausahawan Indonesia terendah di Asia Tenggara. Singapura angkanya 8 persen, artinya jumlah wirausahawan di negara tersebut mencapai 8 persen dari jumlah penduduk. Disusul Malaysia 5 persen, Thailand 4 persen, dan Indoesia 3,1 persen.  “Sedangkan standar Bank Dunia, jumlah pengusaha minimal 7% dari jumlah penduduk,” sebutnya.

Hingga 2022, peringkat GII (Global Innovation Index) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN.  Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN.

Demikian pula data World Digotal Competitiveness, yakni  penilaian adopsi teknologi untuk peningkatan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang diukur dari faktor pengetahuan, teknologi, dan  kesiapan adopsi teknologi untuk masa depan.

“Pada 2022, Indonesia berada pada urutan ke-51 dari 63 negara. Global Entrepreneurship Index hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN,” papar ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan, desa/kelurahan yang penduduknya bekerja di bidang pertanian didominasi oleh petani padi (45,4% dari total desa/kelurahan ). Sedangkan potensi pembangunan desa, terdiri: 1. Pertanian: (1) Tanaman Pangan, (2) Hortikultur, (3) Perkebunan, dan (4) Peternakan. 2. Kehutanan: (1) Hutan Alam, (2) Hutan Tanaman Industri (HTI, Timber Estate), dan (3) Produk Hutan Non-Kayu.

3. Perikanan: (1) Perikanan Budidaya (Laut, Pesisir/Payau, dan Darat); dan (2) Perikanan Tangkap. 4. ESDM: (1) Minyak dan Gas; (2) Batubatra; (3) Mineral (Nikel, Tembaga, Emas, Bauksit, Bijih Besi, Mangan, Rare Earths, dll); (4) Bahan Tambang dan Galian; dan (5) Energi Baru dan Terbarukan (Surya, Angin, Hidro, Bioenergy, dan Energi Kelautan).

5. Industri Manufaktur (Pengolahan) berbasis SDA dan Non- SDA. 6. Pariwisata: (1) Alam (Darat, Pesisir, dan Laut); (2) Budaya dan Religi; (3) Kuliner; (4) MICE; dll. 7. Industri dan Ekonomi Kreatif.

Rokhmin juga mengemukakan, status IDM di Indonesia masih didominasi oleh status berkembang (51,5% dari total Provinsi; 46,1% dari total Kabupaten; 41,5% dari total Kecamatan; 45,2% dari total Desa).

Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan permasalahan dan tantangan pembangunan wilayah perdesaan NKRI. Yaitu: 1. Sebagian besar desa ekonominya terbelakang, penduduknya tidak atau kurang sejahtera (miskin), tidak atau kurang mandiri, dan lingkungan hidupnya kurang berkualitas, indah, asri, nyaman, dan berkelanjutan.  Hanya sedikit desa yang sudah maju, sejahtera, ramah lingkungan, mandiri, dan berkelanjutan (Desa Waturaka, NTT; Desa Krui, Lampung; Desa Ponggok, Jateng; Desa Kutuh, Bali; dan Desa Bandar, Jateng).

Lalu, 2. Keterbatasan infrastruktur pembangunan. 3. Rendahnya aksesibilitas dan konektivitas (jalan, transportasi laut dan pelabuhan, transportasi udara dan bandara, dan digital). 4. RTRW dan Konsep Pembangunan Ekonomi yang kurang tepat dan benar, dan sangat mudah diubah.

5. Kebanyakan unit usaha (bisnis) masih tradisional, belum menerapkan: (1) Economy of Scale, (2) Integrated Supply Management System, (3) Teknologi Mutakhir Yang Tepat (Industry 4.0 dan Society 5.0), dan (4) Sustainable Development Principles.

6. Risiko Bencana alam. 7. Rendahnya akses rakyat desa kepada sumber modal, teknologi, infrastruktur, pasar, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya. 8. Minimnya SDM yang berkualitas unggul (Knowledge, Skills, Expertise, Work Ethics, dan Akhlak), baik di kalangan aparat pemerintah maupun masyarakat desa. 9. Kebijakan dan dukungan pemerintah kepada pembangunan wilayah perdesaan belum optimal. 10. Sistem pemerintahan dan kenegaraan yang lemah (Soft State) (Myrdal, 1968).

Rokhmin menerangkan sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Pertama kali dalam sejarah NKRI Pada tahun 2019 angka kemiskinan lebih kecil dari 10% Namun, dampak dari pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 % atau sekitar 27,6 juta orang. Dari 194 negara anggota PBB dan 204 negara di dunia, hanya 16 negara dengan PDB US$ > 1 triliun. Hingga Juli 2022, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah atas permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia.

”Sebagai catatan, untuk pertama kali dalam sejarah NKRI Pada tahun 2019 angka kemiskinan lebih kecil dari 10% yakni 9,2 persen dari total penduduk. Namun, dampak dari pandemi Covid-19, pada 2022 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 9,6% atau sekitar 26,4 juta orang,’’ ujar Ketua Dewan Pakar GESID itu.

Perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2022), yakni pengeluaran Rp 550.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan. Namun, menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 900.000)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2022 sebesar 100 juta jiwa (37% total penduduk).

Selanjutnya, Rokhmin mengungkapkan, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. “Hingga 2021, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN,” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Mengutip Institute for Global Justice, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, sekarang 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing. Dia menyebutkan, kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017). Dari 2005 – 2014, 10% orang terkaya Indonesia menambah tingkat konsumsi mereka sebesar 6% per tahun.

Bahkan, sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). “Sekarang 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016),” terangnya.

Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi PDRB Menurut Pulau, Triwulan III dan IV-2022. masih di dominasi oleh kelompok Provinsi Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB TW-3 Sebesar 56,3% DAN TW-4 sebesar 56,48%. Deindustrilisasi terjadi di suatu negara, manakala kontribusi sektor manufakturnya menurun, sebelum GNI (Gross National Income) perkapita nya mencapai US$ 12.536.

Masalah lainnya kekurangan rumah sehat dan layak huni. Dari 65 juta Rumah Tangga, menurut data BPS tahun 2019 dimana 61,7 persen tidak memiliki rumah layak huni. “Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” terangnya .

Kemudian, Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman tersebut menjelaskan, persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat, yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun. Kedua, I + E > K + Im. Ketiga, Koefisien Gini < 0,3 (inklusif). Keempat, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Bahkan, sambungnya, menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%). Dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%).

Hingga 2022, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN. Hingga 2021, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN.

Masalah lainnya kekurangan rumah sehat dan layak huni. Dari 65 juta Rumah Tangga, menurut data BPS tahun 2019 dimana 61,7 persen tidak memiliki rumah layak huni. “Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” terang Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Selanjutnya, Rokhmim menjabarkan strategi dan program pembangunan untuk mewujudkan wilayah perdesaan yang maju, sejahtera, mandiri, dan berkelanjutan. Disebutkan kantong kemiskinan di wilayah perdesaan terdiri: 1. Petani (Buruh Tani, dan yang unit usahanya < Economy of Scale), 2. Nelayan (ABK), 3. Buruh Perusahaan Swasta dan UMKM, 4. Usaha Mikro dan Kecil, dan 5. ASN Golongan I dan II.

Baca: Rokhmin Dahuri Lantik Pengurus Wilayah GNTI Provinsi Riau

Sedangkan akar kemiskinan di wilayah perdesaan antara lain: Pertama, Alamiah: daerahnya miskin SDA, rentan bencana alam, dll. Kedua, Kultural: malas, ‘tangan di bawah’ ‘lebih besar pasak dari pada tihang’, dan etos kerja negatif lainnya. Ketiga, Struktural: kebijakan dan program pembangunan pemerintah yang tidak tepat dan benar, kontra produktif.

Maka, Rokhmin menguraikan proses pembangunan untuk mewujudkan desa yang maju, sejahtera, mandiri, dan berkelanjutan. Yaitu: Pertama, Perencanaan dan proses pengambilan keputusan pembangunan secara spasial maupun temporal harus berbasis sains (ilmu) dengan target (Key Performance Indicators) yang benar dan terukur.

Kedua, Implementasi (pelaksanaan) pembangunan mesti dikerjakan secara profesional, cerdas, ikhlas, berkesinambungan, dan tuntas sampai semua target pembangunan tercapai.

Ketiga, Melakukan MONEV (Monitoring and Evaluation) untuk memastikan bahwa semua rencana pembangunan dilaksanakan secara tepat dan benar, dan sebagai dasar untuk evaluasi serta koreksi rencana pembangunan, bila terjadi penyimpangan di lapang.

“Keempat, Utus pemuda unggul ke setiap desa yang membutuhkan,” ujar Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan Seluruh Indonesia (ASPEKSINDO) itu.

Quote