Ikuti Kami

Kenang Masa Kecil Wayan Koster Nyepi Bareng Keluarga

Jika telah saatnya pemikiran beranjak dari inteletual kapitalis menuju intelektual spiritualis.

Kenang Masa Kecil Wayan Koster Nyepi Bareng Keluarga
Kebersamaan Wayan Koster bersama dengan keluarga

Buleleng, Gesuri.id – Di tanah kelahiran Desa Sambiran, Kecamatan Tejakula Buleleng, calon gubernur Bali yang diusung PDI Perjuangan Wayan Koster merayakan hari Nyepi bersama dengan keluarga. Mereka juga sekaligus merayakan Saraswati di saat yang bersamaan, kemarin.

Perayaan bareng keluarga ini tentunya sangat membahagiakan. Betapa tidak! Koster akhirnya bisa berkumpul bersama dengan istri Ny Ni Putu Putri Suastini, serta anak-anak Ni Putu Dhita Pertiwi dan Ni Made Wibhuti Bhawani berkumpul dalam suasana hangat penuh balutan kasih sayang.

Saat berkumpulnya keluarga tersebut, Koster kembali mengenang Hari Nyepi yang bersamaan dengan perayaan Saraswati. “Dengan pikiran sederhana saja, di mana alam mengajak umat manusia memaknai ilmu pengetahuan tidak semata untuk kehidupan nyata. Bahwa sudah saatnya mengimbangi dengan ilmu pengetahuan ke alam ‘sunia’, sunyi atau sepi,” ujarnya.

Koster menekankan, jika telah saatnya pemikiran beranjak dari inteletual kapitalis menuju intelektual spiritualis. Agar manusia tidak semata-mata mengejar hal-hal duniawi belaka.

Perbincangan antara Koster dan keluarga ini berlangsung pada Sabtu malam (17/3) hingga Minggu dini hari (18/3). Mereka begadang dan berbincang di halaman rumah, sembari memandangi jutaan taburan bintang di angkasa. Terlihat beberapa rasi bintang, dengan cahayanya yang berpendar indah.

Ny Putu Suastini Koster menambahkan, ketika tiba hari Ngembak Geni bersamaan Banyu Pinaruh, maka melahirkan api semangat yang menyala dari kejernihan hati.

“Semesta sedang menuntun langkah umat manusia. Agar berarti dan dapat memberi arti dalam kehidupan ini. Yang jelas, sungguh bermakna perayaan Nyepi dan Saraswati kali ini. Kami bersama-sama melaksanakan Catur Brata Penyepian: amati geni, karya, lelungan, dan lelanguan di tanah kelahiran Bapak bersama keluarga besar di Desa Sembiran,” kata Ny Putri Suastini Koster.

Sementara itu, Desa Sembiran memiliki selaksa makna bagi Koster. Tidak hanya sekedar merupakan tanah kelahiran, Desa Sembiran pun menjadi saksi perjuangan hidup Koster yang dibelit kesulitan ekonomi sejak usia dini.

Beberapa kali ketika melakukan orasi politik saat deklarasi, Wayan Koster memberikan semangat kepada masyarakat dengan menceritakan masa kecilnya yang susah, tapi tak lantas membuatnya pantang menyerah.

Di mana ketika menginjak kelas 4 SD, Koster memilih menjadi buruh angkut di desanya. Itu dilakukan untuk menambah uang sakunya. Uang hasil bekerja lantas dititipkan kepada orangtuanya. Uang itu digunakan untuk membiayai segala keperluan pendidikannya kala itu.

Jika ada sisa, sang ibu akan membelikannya selembar baju. Itu pun dibeli saban hari raya Galungan saja. Itulah sebabnya, maka Koster selalu menyayangi segala hal yang diberikan oleh orangtuanya. Bahkan, baju yang dibelikan ibunya tak langsung dikenakan. Ia simpan dahulu dan dipakai jika ada acara tertentu.

Kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai titian tangga untuk mengubah nasib, membuat Koster begitu keras dan giat belajar sehingga selalu menorehkan prestasi istimewa sebagai juara kelas.

“Meski waktu kecil saya miskin dan menjadi buruh, tapi tidak mengubah semangat belajar saya. Saya miskin, tapi selalu juara,” kata Koster dengan nada memberikan spirit.

Quote