Ikuti Kami

Jangan Tinggalkan Pekerja Rumah Tangga

Oleh: Direktur Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari.

Jangan Tinggalkan Pekerja Rumah Tangga
Direktur Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari.

Jakarta, Gesuri.id - Teman saya, Lita Anggraeni adalah Ketua Jala PRT (jaringan nasional advokasi pekerja Rumah Tangga) yang sudah bekerja 17 tahun untuk meloloskan RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga). Dia terus memperjuangkan RUU bersamaan dengan perjuangannya untuk sehat karena tubuhnya didera banyak penyakit hingga kehilangan berat badan 30 kg-an. 

Dia sedih menghadapi kenyataan bahwa RUU lain yang tidak pro wong cilik justru bisa diproses kilat di DPR. Contohnya, UU Cipta Kerja yang sangat pro pengusaha diproses hanya dalam hitungan kurang 2 bulan di DPR padahal tebalnya 1000 halaman lebih. 

Yang lebih mengherankannya, pengesahan UU Cipta Kerja tetap berlangsung meski sebagian anggota DPR bahkan belum baca atau belum paham sepenuhnya. Artinya, ada situasi emergency sehingga ada afirmasi atas pengesahannya. RUU PPRT pantas diafirmasi juga karena faktor emergency dan kemanfaatan bagi para PRT sekaligus negara: menghindarkan penambahan penduduk miskin absolut sebagai dampak pandemi. 

Menurut saya, alasan kemanusiaan karena invisible di mata negara perlu dilengkapi dengan alasan ekonomi kuat. Pertumbuhan ekonomi yang mau digenjot dari RUU Cipnaker tidak akan bisa berkelanjutan jika digandoli kemiskinan yang parah.  

Baca: Ajarkan Pancasila Untuk Mengatasi Intoleransi

Artinya, pengesahan RUU Cipnaker akan lebih efektif jika dilengkapi dengan pengesahan agar RUU PPRT. Beberapa alasan ekonomis yang bisa dilihat tanpa kalkulasi rumit adalah kontribusi PRT ke tingkat produktivitas nasional.

Berdasar riset Jala PRT tahun 2016, semua kelas menengah mempunyai PRT termasuk seorang anggota DPR yang punya 5-11 orang/anggota. Untuk pengusaha, mereka bisa mempekerjakan lebih dari 11 karena tiap anak biasanya ada satu PRT plus untuk keperluan spesifik lain-lainnya dalam RT mereka.

Keberadaan para PRT adalah faktor substansial agar para orang-orang penting tersebut bisa produktif tanpa terganggu beban-beban domestik. Di Indonesia, kelas menengah bawah atau pekerjapun mempunyai PRT yang diajak bekerja. Jadi, nilai ekonomi PRT adalah setara dengan kehilangan peluang (opportunity lost) 
mendapat penghasilan karena mereka tidak  bekerja karena tidak punya PRT. Sebuah angka kehilangan bernilai Trilunan. 

Meski demikian, RUU PPRT hanya minta sangat sedikit dari pemberi kerjanya yaitu berbagi membayar iuran untuk melindungi mereka melalui jamsostek tenaga kerja dan kesehatan. Yaitu, Rp 20 ribu rupiah dan yang Rp 16 ribu dibayar negara per bulan. Para PRT perlu dilindungi karena mereka tergolong kelompok nyaris miskin sehingga harus  diproteksi jangan sampai menjadi jatuh ke kelompok miskin. 

Proteksi ini tampaknya akan menjadi bukti satu-satunya kehadiran negara karena di RUU PPRT ini tidak menuntut upah minimum, jam kerja, cuti, libur semua ditentukan oleh kesepakatan antara PRT dan pemberi kerja. Apalagi, mekanisme pasar untuk upah mereka hampir pasti tidak akan berjumlah layak karena "daya beli" (kemampuan membayar) para pemberi kerja yang memang rendah. 

Meski demikian, saling bantu dan berbagi beban untuk kepentingan bersama tersebut harus diakselerasi oleh negara dengan mengakui mereka sebagai pekerja, mengorangkan PRT. Pengakuan negara sebagai pekerja menjadi pemantik gotong royong bisa direalisasi dalam perekonomian sebagaimana pesan konstitusi. 

Hanya dengan gotong royong, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing, kita akan bisa mewujudkan sila 5 Pancasila. Sila Keadilan Sosia ini, kata Bung Karno indikatornya adalah: tidak ada kemiskinan di Indonesia. Sehingga, pengesahan UU PPRT adalah bukti upaya kita mewujudkan Keadilan Sosial.

Data lain dari Jala PRT, tercatat ada 5,6 juta PRT dan jika radio ketergantungan ke PRT 4 orang maka pengesahan RUU PRT akan potensial menyelamatkan 20 juta lebih orang dari perangkap kemiskinan. Yang menyenangkan, para PRT tersebut banyak yang berhasil menguliahkan anak-anaknya walau dengan gaji mereka yang kecil. 

Sebagaimana riset Oxfam puluhan tahun lalu, ada temuan meyakinkan bahwa investasi ke seorang Ibu perempuan (PRT) setara investasi ke 1000 orang. Peluang naik kelas dari keluarga PRT ini besar (dibanding investasi ke seorang laki-laki) ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. 

Sebagai salah satu pendiri Kaukus Pekerja Migran 2007-2009 Nasional dan Asia, saya sungguh-sungguh berharap pengesahan RUU PPRT untuk menunjukkan komitmen serius negara ke nasib PRT. Kita selalu meminta negara penerima BMI (Buruh Migran Indonesia) membuat UU Perlindungan BMI tapi kita tidak melakukannya di dalam negeri. Kala itu, beberapa diplomat Malaysia dan Saudi suka balik bertanya menyindir tuntutan lobby kami soa itu. Tunjukkan dulu dong di Indonesia.

Baca: Eva Harap Indonesia Dorong ASEAN Tegas Pada Myanmar

Kita sudah memperbaiki Perlindungan PRT di LN (UU PPTKILN) NOMOR 39 TAHUN 2004
TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI) maka seharusnya kita melakukan hal yang sama untuk PRT dalam negeri. Di saat Presiden sering mengkampanyekan jargon "no one is left behind" untuk pencapaian target SDGs maka jangan lah PRT ditinggalkan. 

Keengganan beberapa politisi untuk mendukung RUU PPRT ini adalah sering menggunakan kasus-kasus personal yang tidak nyaman misalnya PRT melanggar kontrak Kerja yang justru RUU PPRT akan meregulasi hal tersebut. Ada juga yang keberatan karena masih terpaku draft RUU yang lama tapi menolak membaca yang terbaru. 

Naskah RUU sudah berubah berkali-kali dari draft awal yang makin lama makin melunak dan toh kelak hasil akhir ada di tangan para anggota DPR, maka sepatutnya isi draft tidak pas dipakai sebagai alasan menolak. Tujuh belas tahun waktu terlalu lama untuk berkomitmen moral, saatnya mengubahnya menjadi komitmen Politik yang konkrit terhadap perbaikan nasib PRT Kita. 

Bagi saya, sikap mendukung pengesahan RUU PPRT sejak 2004 adalah karena alasan emosional: PRT adalah Sarinah-Sarinah nya Bung Karno yaitu perempuan pekerja kelas bawah yang gigih bekerja, pintar, mandiri dan dan mengajari kita cinta kepada rakyat kecil. Sebuah konsepsi tentang perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa yg pintar berperan di domestik sekaligus publik. Konsep keperempuanan ideal dari Ideologi Nasionalisme Indonesia.

Quote