Ikuti Kami

Jenghis Khan, Konsepsi Kekuatan Pertahanan Pemimpin Nasional

Oleh: Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hasto Kristiyanto.

Jenghis Khan, Konsepsi Kekuatan Pertahanan Pemimpin Nasional
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. (Istimewa)

Jakarta, Gesuri.id - Dalam pelajaran sejarah, Jenghis Khan sering hanya diperkenalkan sebagai pemimpin yang bisa menyatukan bangsa Mongol. Secara kronologis sejarah mengajarkan tentang keberhasilannya menaklukkan sebagian besar wilayah Asia. Ia merupakan kakek Kubilai Khan. Dengan mewarisi semangatnya, Kubilai Khan berhasil membuat legacy sebagai sosok kaisar dengan wilayah kekuasaan terluas dalam sejarah umat manusia. 

Sejarah kalau hanya dilihat secara kronologis seringkali menenggelamkan berbagai catatan kritis yang terkandung secara intrinsik di dalam fenomena historis tersebut, tentang apa dan bagaimana makna di balik setiap peristiwa sejarah. Sejarah pun hanya sebatas menjadi hafalan kejadian masa lampau, dan dilupakan relevansinya dengan masa kini dan masa yang akan datang. 

Baca: Politik Mobilisasi, Manuver Kaum Elit yang Perlu Pertobatan

Bagi Sukarno, sejarah adalah pelajaran kehidupan. Sejarah harus dilihat secara kritis untuk menanyakan segala hal ikhwal terkait dengan apa yang melatar-belakangi setiap peristiwa dan bagaimana dampaknya bagi masa depan. Bagi Sukarno, Jenghis Khan menjadi salah satu sumber pengetahuan geopolitik. Jenghis Khan-lah yang ikut membentuk kesadaran Sukarno terhadap pentingnya kajian teoretik tentang aspek teritorial, politik dan kekuatan militer di dalam integrasi konsepsi geopolitiknya. 

Sukarno mengibaratkan belajar dengan Jenghis Khan bagaikan proses memahami makna school of life, sekolah kehidupan. Sebab Jenghis Khan digembleng oleh alam. Dia menyadari kondisi tanah airnya, dan di dalam membangun masa depan bagi bangsanya, Jenghis Khan memulai tekadnya dengan menyatukan Mongolia Raya. 

Jenghis Khan sosok yang menerapkan konsepsi pertahanan dalam cara pandang geopolitik. Ia memiliki keunggulan strategi dengan mengirimkan para ahli intelijennya untuk memahami segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kondisi suatu bangsa sebelum penyerangan dilakukan. Pemahaman menyeluruh tentang geopolitik ini mencakup kerawanan dan kelebihan kondisi geografis, sosial-ekonomi, kebudayaan, tata pemerintahan, hingga pertahanan militer suatu bangsa.  

Kehebatan kepemimpinan Jenghis Khan dalam strategi perang, menjadikan Universitas Pertahanan Republik Indonesia menempatkan Jenghis Khan sebagai salah satu materi sejarah perang. Sejarah perang bersifat wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa di universitas bergengsi tersebut. Dalam sejarah perang ini tidak hanya mempelajari sejarah peradaban umat manusia, namun juga tentang strategi, taktik, dan pemahaman perang sebagai seni di dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan. 

Dalam taktik medan perang misalnya, Jenghis Khan menempatkan pentingnya pelatihan, loyalitas, disiplin, dan komunikasi. Pasukan Mongol dilatih untuk memiliki daya respons yang tinggi guna menjawab berbagai skenario yang muncul di medan tempur. Dengan disiplin tinggi, pasukan Mongol bergerak dalam satu irama strategi dan taktik perang tanpa harus diawasi oleh komandan perang. Dalam kedisiplinan itu dibangun tingkat kepatuhan yang begitu besar pada pemimpin sebagai aset vital. 

Kepemimpinan Jenghis Khan mampu menghadirkan kekuatan militer yang solid, didukung oleh sistem intelijen dan perencanaan serta sistem logistik yang handal. Kemampuan manuver pasukan Mongol juga terbukti menakutkan dengan serangan kilat, serangan lambung, pengepungan, bahkan strategi pengunduran pura-pura untuk memancing pergerakan lawan, dan kemudian dalam medan yang sudah direncanakan, melakukan serangan balik secara cepat dengan efek psikologis yang mengejutkan lawan. 

Begitu kagumnya Bung Karno dengan Jenghis Khan. Hal itu nampak dalam pidatonya yang mengangkat pentingnya membangun kekuatan pertahanan dalam cara pandang geopolitik sebagaimana telah dipraktikkan Jenghis Khan. Ditegaskan oleh Bung Karno suatu pernyataan Jenghis Khan yang terkenal: “Pertahananku berdiri atas kepribadian kita sendiri. Dan cara kami berperang terdiri atas pengetahuan keadaan musuh itu”. 

Dengan prinsip yang dipegang Jenghis Khan tersebut, Sukarno merefleksikan secara kritis bahwa tanpa pengetahuan geopolitik negerinya, tanah airnya, bangsanya, bagaimana suatu bangsa bisa mengetahui apa yang akan dipertahankannya? Suatu pertanyaan yang sederhana namun menggugah kesadaran bersama bahwa pertahanan itu cakupannya sangat luas, menyentuh seluruh aspek kehidupan.

Pertahanan dalam pemahaman geopolitik berkaitan dengan konstelasi geografis, politik, ekonomi, budaya, dan memahami bagaimana sejarah dunia juga dibentuk oleh pertarungan hegemoni atas berbagai teori geopolitik barat yang ekspansionis. Dari belajar geopolitik, terlebih setelah mengetahui bagaimana kerusakan peradaban akibat perang, Sukarno mengusulkan pandangan geopolitiknya yang mengedepankan nilai kemanusiaan, koeksistensi damai, anti kolonialisme dan imperialisme, serta suatu tatanan dunia baru dimana dunia akan damai apabila terbebas dari berbagai bentuk penjajahan. 

Demi tugas mulia ini, Indonesia harus membangun kekuatan pertahanan yang disegani sehingga “Indonesialah penjaga satu-satunya daripada perlalu-lintasan di Samudera Pasifik, Samudera India, dan Australia”. Pernyataan itu disampaikan oleh Bung Karno dengan gamblang pada saat Kuliah Umum Presiden Sukarno pada Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), tanggal 31 Mei 1965.

Karena itulah Lemhannas, yang sekarang menjadi Lembaga Ketahanan Nasional, dirancang untuk menggembleng calon-calon pemimpin bangsa, baik dari kalangan sipil maupun militer, dari pusat maupun daerah, dan pendeknya seluruh calon pemimpin bangsa dengan berbagai disiplin ilmu untuk digembleng bersama dengan kesadaran geopolitik. Dalam pelaksanaannya di masa orde baru, Lemhannas dijauhkan dari spirit pendirinya Bung Karno.

Dengan pertarungan geopolitik yang kini semakin kompleks, Lemhannas harus merubah dirinya. Ia bukanlah sekedar lembaga yang memberikan sertifikat kepemimpinan. Ia harus menjadi think tank guna menjabarkan seluruh pemikiran, semangat, ide, gagasan dan imajinasi geopolitik Bung Karno pendirinya. 

Gagasan ini sangat relevan, mengingat dunia saat ini dihadapkan pada berbagai persoalan geopolitik. Yang paling nyata adalah Perang Rusia-Ukraina. Di luar perang itu, dunia masih menyisakan pekerjaan rumah serius terkait persoalan Afghanistan, krisis di Timur Tengah, ketegangan di Korea, dan juga potensi konflik di Laut Tiongkok Selatan.

Dengan berbagai pertarungan hegemoni tersebut, Indonesia tidak boleh ketinggalan langkah. Keseluruhan persepektif di dalam membangun kekuatan ketahanan nasional, dan pertahanan negara harus dilakukan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut guna menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.

Guna mencapai tujuan strategis tersebut, maka sudah saatnya Indonesia mengembangkan kemampuan pertahanannya dengan menerapkan berbagai instrumen national power yang bisa digunakan untuk menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa besar. Penggunaan instrumen national power itulah yang nampaknya jarang dilakukan. Negosiasi FIR (Flight Information Region) antara Indonesia dan Singapura misalnya, belum secara maksimum me-leverage instrumen demografi, teritorial, teknologi, dan berbagai aspek lainnya.

Kekuatan nasional dalam keunggulan komoditas juga belum disimulasikan daya efektifnya sebagai instrument of national power. Sebab kekuatan Indonesia sebenarnya sangat luar biasa. Indonesia tercatat sebagai produsen Kelapa Sawit terbesar di dunia; Karet no. 2 di dunia; Kakao no. 3 di dunia; Kopi no. 4 di dunia; dan Tembakau no. 5 di dunia. 

Belum kekuatan sumber daya yang lain. Demikian halnya kekuatan teritorial. Indonesia memiliki 4 choke points, suatu jalur sempit yang sangat strategis dalam perdagangan dunia, yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makasar. 

Simulasi berbagai instrument of national power sangatlah penting bagi kepemimpinan Indonesia. Tanpanya, Indonesia dianggap tidak memiliki kekuatan dan begitu mudah dilecehkan dalam urusan kedaulatan politik, budaya, dan militer. Apa yang dilakukan oleh Malaysia untuk mempatenkan beragam kebudayaan nusantara seperti reog ponorogo misalnya, jika dilihat sebagai kritik-otokritik, nampak adanya kelemahan di pihak Indonesia karena kurangnya sense of belonging atas kekayaan budaya sendiri. 

Untung persoalan ini segera tuntas setelah melalui berbagai bentuk keberatan. Demikian halnya berbagai pelanggaran kedaulatan negara baik di udara maupun laut, seharusnya sama sekali tidak bisa dibenarkan.

Baca: Pondasi Kekuatan Pertahanan & Relevansi Konsepsi Trisakti

Membangun kekuatan ketahanan nasional dan pertahanan negara dalam perspektif luas harus dilakukan. Instrumennya bukan hanya kekuatan militer. Sebab membangun kekuatan militer dalam kepemimpinan Sukarno harus lahir sebagai konsekuensi pernyataan kepentingan nasional Indonesia. 

Kalau pada tahun 1927 saja, Bung Karno sudah mencanangkan “Indonesia Merdeka Sekarang dan Sekarang” dan terbukti terjadi pada tahun 1945, lalu pada tahun 1948 menyatakan secara tegas, bagaimana pembebasan Irian Barat dinyatakan sebagai kepentingan nasional Indonesia, lalu apa kepentingan nasional Indonesia saat ini? Pertarungan geopolitik riil terjadi, lalu bagaimana merancang skenario agar Indonesia benar-benar disegani dalam percaturan politik dunia? Hal-hal itulah yang harusnya menjadi diskursus bagi pengambil kebijakan pemerintahan negara. 

Seluruh instrument of national power harus disimulasikan agar benar-benar efektif menjadi alat di dalam mewujudkan kepentingan nasional Indonesia. Sebab berbicara tentang kepemimpinan Indonesia dan bagaimana cara mewujudkannya, jauh lebih penting daripada meributkan hal-hal sepele yang hanya menghabiskan energi perjuangan bangsa. 

Jadi mari kita imajinasikan, tentang adanya pemimpin nasional yang benar-benar bertekad membangun kepemimpinan Indonesia bagi dunia. Merdeka!!!

Quote