Ikuti Kami

Politik Mobilisasi, Manuver Kaum Elit yang Perlu Pertobatan

Oleh: Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hasto Kristiyanto.

Politik Mobilisasi, Manuver Kaum Elit yang Perlu Pertobatan
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. (Istimewa)

Jakarta, Gesuri.id - Dalam berbagai arahan tentang bagaimana ideologi Pancasila dibumikan, Megawati Soekarnoputri selalu mengingatkan hal sederhana, turun dan rasakanlah kehidupan rakyat. Rasakan dengan seluruh panca indra penuh empati. Disitulah makna sebenarnya kehidupan rakyat dapat dimengerti. Ia tercermin dalam keseluruhan perasaan, mimpi, dan harapan, bahkan terhadap hal yang tidak disuarakan sekalipun tentunya akan mampu didengarkan oleh mata hati seorang pemimpin.  

Suara yang tidak terdengar itulah yang dipahami Bung Karno sebagai amanat penderitaan rakyat. Sejak kecil Soekarno digembleng dengan nilai-nilai Tat Twam Asi, “aku adalah engkau”. Tat Twam Asi ini bergema sebagai gerak kemanusiaan untuk mencintai sesamanya. Dari ayahnya Raden Soekemi Sastrodihardjo, seorang theosof, Soekarno merasakan getaran seluruh panca indranya ketika bersentuhan dengan alam semesta seisinya.  

Baca Sekjen Hasto: Demonstrasi Mahasiswa Jangan Salah Alamat

Berbagai puisi yang dibuatnya selama masa pembuangan di Ende menggambarkan hal tersebut. Ia bisa merasakan deburan ombak di pantai sebagai gelora semangat Indonesia merdeka. Ia bisa merasakan nafas Indonesia dengan menghirup udara kehidupan yang masuk dalam dirinya.  

Gelora semangat Bung Karno tidak pernah habis. Gelora ini menjadi energi juang. Dalam berbagai pernyataannya, Bung Karno sering menceritakan bagaimana energi ini dinyalakan sejak kecil melalui ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai dengan cerita kepahlawanan para Satria Pandawa. Semua melekat membentuk gambaran tugas satria melawan berbagai bentuk angkara murka. 

Dari cerita wayang inilah perjuangan pembebasan rakyat tertindas membentuk imajinasi politik Soekarno. Dipertajam oleh rasa cintanya pada wong cilik melalui ketulusan hati Sarinah pengasuhnya, Soekarno kecil merasakan makna kemanusiaan yang mewujud dalam ketulusan hati.  

Dengan berbekal pada nilai-nilai kemanusiaan dan realitas penjajahan, muncullah gelora perjuangan itu. Gelora juang ini hanya bisa muncul dengan kesatupaduan antara pemimpin dan rakyat. Kesatuan yang hanya akan sempurna manakala prinsip kesetaraan dalam Tat Twam Asi bekerja, dan dengannya pemimpin bertindak tanpa pernah ragu terhadap jalan yang ditempuhnya. 

Kesatuan yang sama terjadi, ketika Soekarno muda bertemu dengan sosok petani kecil, Pak Marhaen. Dari sosok petani marhaen ini Bung Karno menemukan inti atau hakekat semangat juangnya. Dengan perantaraan Pak Marhen sebagai representasi petani dan rakyat miskin lainnya, terjadilah koneksitas ideologis. Koneksitas ini membentuk kesadaran Sukarno tentang pentingnya mengorganisir rakyat sebagai basis teori revolusi politiknya.  

Sosok petani secara individual memang nampak lemah, meski memiliki tenaga untuk mengolah lahannya sendiri. Akan tetapi, secara perseorangan, ia mampu bertahan hidup dan berdaulat di dalam menentukan apa yang akan ditanamnya. Pertanyaan selanjutnya, apa yang menyebabkan jutaan petani menderita dan kehidupannya menjadi begitu miskin? Dalam kontemplasi ideologis Soekarno, sekiranya petani ini dibangun kesadarannya dan menjadi satu kesatuan yang terpimpin, maka mereka akan menjelma menjadi kekuatan yang maha dahyat. 

Di sini Soekarno kemudian mengoreksi teori Karl Marx tentang perjuangan kelas. Menurut Soekarno, membangkitkan kesadaran rakyat, lalu memimpin pergerakan bagi cita-cita pembebasan menghadirkan perjuangan bangsa tertindas melawan sistem penjajahan. Dalam teori kebangsaan yang disusunnya, Soekarno dengan tegas mengatakan bahwa perjuangan kelas tidak akan terjadi. Karena itulah ia lebih memilih bergerak ke bawah, melakukan pemberdayaan, bahkan terhadap mitologi Ratu Adil yang hidup di sanubari rakyat pun dipakai demi hadirnya keyakinan bagi upaya menjebol benteng kapitalisme.  

Dalam hakekat perjuangan itu, maka tugas utama pemimpin adalah memberdayakan rakyat. Pemimpin menangkap agregasi kepentingan dan harapan rakyat, dan disitulah pemimpin berjuang. Perjuangan dengan model seperti ini dipastikan memiliki kemurnian cita-cita. Cara perjuangannya pun akan progresif, membawa kemajuan, namun juga revolusioner, merombak struktur dengan membongkar ketertindasan. Sebab perubahan sistem politik kolonial, budaya kolonial yang membodohkan rakyat, hingga sistem ekonomi yang menghisap harus dilakukan dengan cara revolusioner bagi hadirnya sistem kehidupan baru dalam alam kemerdekaan. 

Dengan demikian, dari asal-usulnya, dari hakekatnya, watak politik Indonesia itu adalah politik pemberdayaan. Politik pemberdayaan hanya bisa dipahami dari bawah, berbeda dengan politik mobilisasi. Ketika perwakilan para kepala desa dihadirkan oleh tangan-tangan pejabat negara yang begitu getol memperjuangkan wacana penundaan pemilu, maka itu adalah praktik politik mobilisasi. 

Berbeda dengan politik pemberdayaan yang berasal dari harapan, mimpi, dan perasan perasaan rakyat, maka politik mobilisasi berasal dari benak pemimpin. Politik mobilisasi itu elitis yang diupayakan legitimasinya agar terkesan rakyatlah yang bergerak. 

Pertanyaan kritisnya, apakah yang disuarakan dalam politik mobilisasi benar-benar cermin kehendak rakyat, atau justru kehendak pemimpin yang dengan kekuasannya mampu menutupi segala kepentingannya?  

Jawaban atas pertanyaan tersebut sangatlah sederhana. Politik mobilisasi adalah politik kehendak dari atas. Ataslah yang mengalirkan segala sarana dan prasarana yang memungkinkan terjadinya mobilisasi. Ataslah yang punya kuasa hingga mengalirkan suatu perintah baik secara langsung melalui jejaring politiknya, ataupun terselubung sebagaimana sering terjadi dalam politik mobilisasi.  

Politik mobilisasi adalah politik skenario kepentingan. Berbagai orkestrasi tentang wacana penundaan pemilu adalah politik mobilisasi. Karena ia lahir dari skenario, maka kemampuan sang sutradara menjadi penentu keberhasilan politik mobilisasi.  

Namun politik tidak bekerja di dalam ruang hampa. Realitas inilah yang sering mematahkan skenario sutradara. Di dalam politik nyata, begitu banyak varian yang bekerja. Di sini banyak yang tidak menyadari, bagaimana resultan antar varian itu sering menciptakan “Faktor X”; suatu faktor hasil proses dialektis yang seringkali tidak diprediksi dan tidak bisa diramalkan dengan teori probabilitas paling canggih sekalipun. 

Dalam dialektika itu ada aksi-reaksi. Aksi-reaksi ini arah vektornya banyak. Dalam situasi ketika peri kehidupan rakyat sedang dihadapkan pada persoalan pandemi, dipicu oleh berbagai kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat, serta ketidakpastian dunia internasional akibat perang Rusia-Ukraina, maka terjadilah ketidakpastian, ketidakstabilan sistem, terlebih dengan berbagai manipulasi informasi atau rekayasa kepentingan. 

Dampaknya, ketidakseimbangan antara permintaan dan persediaan bisa diciptakan. Hal inilah yang terjadi dengan kelangkaan minyak goreng. Logika sederhana kelangkaan itu tidak bisa diterima akal sehat. Bagaimana mungkin Indonesia yang menjadi produsen CPO terbesar di dunia, bisa mengalami kelangkaan minyak goreng yang beredar di pasar, yang secara otomatis memicu lonjakan harga?   

Di tengah ketimpangan produksi dan distribusi itulah politik mobilisasi bekerja. Bukannya menyelesaikan masalah pokok rakyat, politik mobilisasi secara mengejutkan hadir tanpa melihat realitas apa yang sebenarnya terjadi. Faktor X itulah yang kemudian tercipta menjadi arus balik. Berbagai vektor yang sebelumnya banyak arah, dengan kesalahan praktik politik mobilisasi, terkondisi menjadi satu arah penolakan.  

Apapun motifnya, politik mobilisasi tidak mengakar. Politik mobilisasi begitu mudah dipatahkan oleh politik pemberdayaan yang hidup karena kekuatan arus bawah. Dalam situasi seperti itulah, sebelum kebakaran politik terjadi, sikap Megawati Soekarnoputri, PDI Perjuangan dan Presiden Jokowi secara tegas dinyatakan untuk menghentikan politik mobilisasi. Ketegasan Presiden Jokowi yang melarang para pembantunya untuk berbicara tentang penundaan pemilu harus menjadi akhir dari drama politik mobilisasi. 

Baca Adian: Kenaikan BBM Era Soeharto 700%, SBY 259%, Jokowi 16%

Politik mobilisasi muncul dari elit. Elit ini dipersempit lagi terhadap mereka yang dekat dengan kekuasaan. Dalam politik kenegaraan, apa yang disampaikan seorang pemimpin sebenarnya cukuplah satu kali. Sebab moralitas sederhana bagi seorang pemimpin adalah satunya kata dan perbuatan. 

Ketika ketegasan pemimpin sudah disampaikan dengan gamblang dalam ungkapan: “menampar muka saya, mencari muka, dan menjerumuskan saya”, namun dalam praktek elit kekuasaan masih saja ada yang memainkan, maka tindakan tegas bisa menjadi pilihan paling rasional yang seharusnya diambil pemimpin. Sebab politik mobilisasi membutakan diri terhadap realitas. Ia menjadi “benteng kepentingan” sehingga ketegasan Presiden Jokowi pun sepertinya mau diabaikan.  

Karena itulah, ketika saat ini masih saja terdengar suara yang menggugat politik mobilitas, melalui berbagai demonstrasi dan aksi turun ke jalan, maka suara itu jangan sampai salah alamat dengan ditujukan kepada Presiden Jokowi. Daripada salah alamat, lebih baik mereka yang menjadi pelopor politik mobilisasi itulah yang seharusnya bertobat. Sebab bulan Ramadan memang sangat kondusif untuk menyuarakan pertobatan. 

Pertobatan ini penting agar manuver politik yang berbahaya dan penuh resiko tersebut tidak terulang kembali. Atas dasar hal itu, pilihlah politik pemberdayaan, dan jauhkan model politik mobilisasi. Di dalam politik pemberdayaan itulah hakekat politik sebenarnya tanpa manipulasi. Pada akhirnya, suara rakyat inilah yang harus didengarkan oleh setiap pemimpin. Dengannya, bangsa dan negara Indonesia akan selamat. Merdeka!!!!!!

Quote