Ikuti Kami

Lawan Politisasi Isu Agama yang Menyerang Jokowi & Partai

Di Indonesia kita pernah mengalami tragedi berdarah yang kelam karena diferensiasi ideologi.

Lawan Politisasi Isu Agama yang Menyerang Jokowi & Partai
Ilustrasi. Capres dan cawapres nomor urut 01, Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.

BEBERAPA waktu lalu telah terjadi tragedi kemanusian besar di tahun 2019. Tiga orang teroris asal Australia penganut gerakan supremasi kulit putih menembaki warga Muslim di Selandia Baru secara membabi buta yang hendak melaksanakan Shalat Jumat (15/3) di dua masjid daerah Christchurch, Selandia Baru. 

Dari serangan teroris itu, 50 orang warga Muslim tewas dan puluhan lainnya mengalami luka tembak.

Penembakan tersebut didasari oleh kepercayaan ideologi radikal yang menanamkan kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda dengannya sebagai ancaman. 

Para penganut ideologi supremasi kulit putih di Australia, yang menganggap Islam dan imigran non kulit putih tak cocok dengan Australia.

Di Indonesia sendiri, kita pernah mengalami tragedi berdarah yang kelam karena diferensiasi ideologi. 

Dua kali sudah tragedi kemanusiaan terjadi atas nama gesekan ideologi Komunis dan Islam. Pertama di tahun 1948, terjadi pemberontakan komunis di Madiun. 

Sejumlah kiyai dan santri menjadi korban dari kekejaman penganut ideologi komunis (kader PKI) yang membantai umat Islam saat beribadah shalat subuh dan menginjak-injak kitab suci serta menghancurkan masjid.

Dan karena gesekan ideologi, di tahun 1965, kembali terjadi pemberontakan PKI dengan Gestapu yang berkhianat ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis. 

PKI di tahun 1965, kali itu tidak hanya menjadi musuh umat Islam namun juga kelompok Nasionalis dan kelompok agama lain, karena hendak merubah ideologi Pancasila sebagai Dasar Negara Bangsa Indonesia.

Dan sayangnya, dalam kondisi carut marut konflik ideologi di tahun 1965, dimanfaatkan oleh oknum kelompok di tubuh Angkatan Darat yang ingin berkuasa dan menjatuhkan rezim Orde Lama yang dipimpin Bung Karno dengan memainkan sentimen anti PKI. 

Dan saat itu, politisasi kelompok agama dan nasionalis dimainkan oleh kubu sebagian elit di Angkatan Darat yang setelah kejadian Gestapu tampil seolah-olah sebagai pahlawan dengan memberangus habis segala hal yang berbau PKI.

Karena itulah mereka berhasil merebut kekuasaan. Dan sentimen itu terus dimainkan ketika Pemilu di zaman Orde Baru. Ketika ada kekuatan lawan politik Orde Baru yang coba bangkit. Rezim penguasa buru-buru mengebirinya dengan memainkan isu SARA.

Jauh sebelum kasus Penistaan agama, yang karena desakan umat setelah melalui proses dramaturgi menggalang emosi umat yang marah atas pernyataan Ahok yang mengatakan 'Jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah 51', di zaman Orba juga pernah riuh oleh praktik politisasi kelompok agama dan ruang ibadah. Seperti yang pernah diberitakan di Majalah Tempo edisi 26 Maret 1977 silam dengan judul artikel berita: "Perkara Ayat Suci, dan sebagainya".

Di kasus penistaan Ahok, lawan politiknya berhasil memainkan politisasi kelompok agama menjadi bola salju yang berhasil menggulung kekuatan politik nasionalis dan Islam moderat yang menjadi lawan politik dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta.  
Karena kebetulan saat itu, isu penistaan agama dimainkan bertepatan saat Ahok maju bersama Djarot Saiful Hidayat dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. 

Di tahun 1977, praktik politisasi kelompok agama dimainkan oleh para politikus yang mengumbar kosakata spiritualitas agar mudah dipahami penganut agama tersebut. Saat itu, dalam sebuah kampanye Pemilu tahun 1977, Menteri Dalam Negeri zaman Orde Baru, Amirmachmud mengecam keras mereka yang dalam kampanye mebawa-bawa ayat suci Al Quran dan merusak serta menyelewengkan ajaran Islam. 

Kecaman tersebut dilontarkan di depan rapat umum lebih kurang 5.000 peserta di Pondok Pesantren Daar Al Uluum, menyusul penyerahan bantuan Rp 25 juta kepada pemimpin pondok. 

Tidak dirinci siapa yang merusak ajaran Islam. Kepada peserta Pekan Orientasi Ulama dan Khatib Se-Sumatera Utara esok harinya, Amirmachmud berkata: "Tiada sepotong pun ayat dan hadis yang mengatakan bahwa menusuk tanda gambar PDI dan Golkar haram hukumnya". 

Penggunaan ayat-ayat Al Quran dalam kampanye itu bukan hanya monopoli PPP. Di lapangan Persima, Tambora, Jakarta, juru kampanye Golkar tak sedikit yang mengutip ayat suci itu. "Mengikuti pemerintah tidak bertentangan dengan agama," ucap KH Achmad Royani. Tentunya pemerintah yang tidak bertentangan dengan agama, kan?

Sementara itu, Partai Demokrasi Indonesia memusatkan perhatian pada pelanggaran pemilu yang masih terus terjadi. Dalam jumpa pers di Jakarta (Maret 1977), DPD PDI Jakarta mengungkapkan 18 kasus yang dianggap merugikan partai tersebut. Diantaranya aktifnya beberapa camat dalam aksi bagi-bagi tanda gambar, pencabutan papan kampanye, dan tangan usil yang menggambar PALU-ARIT di papan kampanye PDI.

Yang terakhir ini pelakunya telah ditahan. Umurnya masih dua puluhan tahun dan diberitakan "gila". Tapi rupanya ini dianggap aneh. "Sudah dua kali mereka yang ditangkap polisi dinyatakan gila. Apa orang-orang gila selalu memusuhi PDI?" tanya Wakil Ketua DPD PDI A.P. Batubara, mengutip Majalah Tempo edisi tahun 1977.

Dan saat ini, di era Reformasi, politisasi kelompok agama kerap dimainkan untuk menyerang PDI Perjuangan yang notabene reinkarnasi PNI, partai berhaluan ideologi Nasionalis-Marhaenisme. Dan PDI Perjuangan, yang kader-kadernya merupakan kelompok Soekarnois, pengagum ideologi dan cita-cita besar Soekarno, Bapak dan Pendiri Bangsa, kerap diserang isu anti Islam, PKI, anti ulama, abangan, preman. 

Tidak heran jika di sosial media atau kampanye door to door hingga detik ini masih kita jumpai narasi kampanye hitam seperti meme bergambar Ibu Megawati Soekarnoputri, yang difitnah telah mengucapkan "PDI Perjuangan tidak butuh suara umat Islam", atau jika Jokowi kembali terpilih maka: "Pesantren akan ditutup", "Azan dilarang berkumandang", "PKI bangkit kembali", "LGBT merajalela", "Muslimah dilarang berhijab".

Segala fitnah keji tersebut selalu direproduksi secara terus menerus, tidak ada henti-hentinya ditebar di seluruh platform sosial media, aplikasi percakapan smartphone, hingga disemburkan dalam berbagai forum majelis ta'lim ibu-ibu pengajian di kampung-kampung, perkotaan, hingga ceramah-ceramah di masjid.

Politisasi kelompok beragama itu relatif cukup berhasil dimainkan untuk menggerus suara PDI Perjuangan sebagai partai Nasionalis dan Capres Jokowi yang merupakan kader terbaik PDI Perjuangan. Selain itu, Jokowi juga kerap difitnah sebagai antek asing maupun aseng. 

Mereka sangat piawai memainkan narasi dengan mengklasterkan kelompok lawan politik kubu 02 yaitu PDI Perjuangan dan Jokowi sebagai bagian dari rezim yang mengkriminalisasi ulama, dan capres 02 sebagai pemimpin pilihan ulama. 

Pengelompokan tersebut seakan-akan melabelkan PDI Perjuangan dan Jokowi secara asosiatif anti ulama, anti Islam dan selalu bermusuhan dengan umat Islam. 

Seperti disampaikan di awal tulisan ini, menjadikan ideologi yang dianut sebagai sebuah alat politik untuk memecah belah, menebarkan permusuhan dan kebencian, bisa berdampak seperti sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi di Christchurch, Selandia Baru.

Atas nama ideologi berpaham radikal yang diperjuangkan, dan secara taqlid buta membela mati-matian capres pilihannya setelah berhasil diracuni pikiran dan emosinya untuk menyerang lawan politik yang telah dilabelkan sebagai sebuah ancaman. 

Maka tidak heran jika narasi: 'perang badar, intervensi Tuhan dan malaikat dalam doa, serta haram pilih partai penista agama' berhasil membuat para pemilih emosional yang irasional bergerak secara militan, dan dengan kedunguannya turut menebar berita-berita hoaks yang diproduksi aktor utama dari politisasi isu SARA dan kelompok beragama.

Quote