Ikuti Kami

Lawan Retaliasi AS, Jurus Jitu Jokowi dan Restu Legislator 

Retaliasi menuntut RI membayar 350 juta dolar AS (sekitar Rp5 triliun) sebagai ganti atas kerugian industri AS.

Lawan Retaliasi AS, Jurus Jitu Jokowi dan Restu Legislator 
Ilustrasi. Presiden Jokowi dan Presiden AS Donald Trump.

Pembukaan UUD 1945 menyatakan "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Untuk itulah hak setiap bangsa yang merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri, jalan hidupnya sendiri, termasuk jalannya roda perekonomian di negaranya tanpa campur tangan pihak atau negara manapun.

Baca: Retaliasi AS, Ono: Pemerintah Berhak Keberatan Atas Impor

Itulah yang terjadi dengan Indonesia, meski sudah 18 tahun yaitu sejak tahun 1995, negara ini menjadi bagian dari anggota badan perdagangan dunia World Trade Organization (WTO), namun sebagai negara yang berdaulat pemerintah Indonesia tak serta-merta terus-menerus harus mengikuti kemauan WTO dan negara-negara maju yang berlindung di belakangnya. Dalam hal ini untuk persoalan ekspor-impor antara RI dengan negara-negara di dunia.

Pemerintah Indonesia berhak menentukan siapa dan berapa banyak volume ekspor-impor dan produk serta komoditas apa saja yang akan ditransaksikan dengan negara lain di dunia. Tentunya tetap harus yang menguntungkan bagi perekonomian Nasional, terlepas dari propaganda "win-win solution". 

Tentunya tidak ada negara manapun di dunia ini yang ingin rugi dalam transaksi ekonomi perdagangannya, apalagi negara yang kaya akan sumberdaya alamnya seperti Bumi Pertiwi.

Di tahun 2018 ini, genderang perang dagang dilancarkan AS terhadap China dan Uni Eropa, faktanya telah merambat hingga ke Indonesia. 

AS mulai mengkaji total 3.500 produk-produk yang masuk Generalized System of Preference (GSP) atau daftar produk yang bebas bea masuk yang dihasilkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Alhasil dunia usaha ketar-ketir menanti evaluasi tarif yang dilakukan AS. Kekhawatirannya, AS mengubah atau menghentikan ketentuan GSP yang berakibat pada pengenaan tarif baru untuk produk-produk asal Indonesia. 

Hal itu dilakukan Trump sebagai tindakan proteksionisme terhadap pasar AS, menyusul defisit neraca dagang yang terus dicatat Amerika. 

Mulai Lepas Ketergantungan Impor

Namun sesungguhnya terlepas dari kajian AS tersebut, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi telah mulai melepas ketergantungan terhadap produk impor atau apapun itu sifatnya yang mengatasnamakan subsidi dari AS, padahal hanya demi keuntungan negara Pama Sam itu sendiri.

Di tahun 2016, Indonesia telah menerbitkan 18 aturan yang dianggap sebagai hambatan nontarif untuk sejumlah produk pertanian dan peternakan asal Amerika Serikat dan Selandia Baru. Beberapa produk impor tersebut yaitu di antaranya apel, anggur, kentang, bawang, bunga, jus, buah-buah kering, hewan ternak, ayam dan daging sapi.

Indonesia menegaskan penerapan aturan ini bertujuan untuk melindungi petani dan peternak lokal. Sebaliknya, Amerika dan Selandia Baru menilai aturan tersebut tidak sesuai dengan Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan yang disepakati antar anggota WTO.

Kedua negara ini lantas mengadukan kebijakan Indonesia ini ke WTO. Per 23 Desember 2016, Indonesia harus menanggung kekalahan di sidang tersebut. Memang ada upaya banding dari Kementerian Perdagangan, namun Indonesia kembali kalah.

Saat ini baru AS yang resmi mengajukan sanksi terhadap Indonesia ke WTO. Sementara Selandia Baru belum sama sekali menunjukkan sinyal akan mengajukan permintaan yang sama. Selandia Baru dikabarkan juga mengalami kerugian yang lebih besar hingga 1 miliar New Zealand Dollar atau setara Rp 9,7 triliun.

Baca: Australia Akui Indonesia Lebih Kuat Dibandingkan China

Jauh sebelum 2016, Selandia Baru dan Amerika Serikat telah melayangkan gugatan pada 2013 sebagai respons atas berbagai hambatan dagang nontarif yang diberlakukan Indonesia sejak 2011. Kedua negara tersebut mempermasalahkan pembatasan kuota impor sapi dan ayam serta beberapa jenis buah dan sayur oleh pemerintah.

Namun, Indonesia telah menghapus sistem kuota impor sapi sejak paruh kedua 2016. Kementerian Perdagangan juga telah melakukan sejumlah deregulasi sehingga sudah ada berbagai perubahan kebijakan. 

Tindakan Balasan AS

Pada tanggal 2 Agustus 2018, Pemerintah Indonesia menyatakan telah menerima salinan surat Perwakilan Amerika Serikat (AS) untuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa, Swiss, kepada Badan Penyelesaian Sengketa WTO.

Surat tersebut pada intinya meminta otorisasi dari Badan Penyelesaian Sengketa WTO kepada AS untuk menunda pemberian konsesi tarif kepada Indonesia terkait dengan sengketa yang diadukan AS atas kebijakan restriktif yang diterapkan Indonesia dalam importasi produk hortikultura, hewan dan produk hewan.

Tak hanya itu, AS di bawah pimpinan Presiden Donald Trump melancarkan tindakan balasan (retaliasi) bagi Indonesia dengan menugaskan WTO untuk menjatuhkan denda atau sanksi sebesar US$350juta atau setara dengan Rp5 triliun karena tidak melaksanakan putusan perselisihan dagang yang memenangkan Negeri Paman Sam tersebut.

Sementara itu, Pemerintah Indonesia telah mengirim perwakilannya ke Jenewa untuk mengikuti sidang World Trade Organization (WTO) yang membahas tuntutan retaliasi Amerika Serikat (AS). 

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI, Oke Nurwan mengatakan utusan Indonesia itu merupakan Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI). Mereka ditugaskan untuk menyampaikan keberatan dari Pemerintah Indonesia atas tuntutan retaliasi AS. 

"Prinsipnya, Indonesia sudah menyampaikan keberatan atas retaliasi dan besaran 350 juta dolar AS kepada Amerika melalui DSB (Dispute Settlement Body) Chair dari WTO," ujar Oke, Kamis (16/8).

Anggota Komisi IV DPR RI dari PDI Perjuangan, Ono Surono menilai peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah itu sebenarnya sudah tepat karena untuk melindungi produksi di dalam negeri dengan membatasi keberadaan barang impor. 

"Negara mana pun bisa mengatakan tidak impor. Pemerintah Indonesia berhak keberatan impor agar produk asing enggak mudah masuk, produk impor dapat masuk dengan catatan [...], dan untuk menstabilkan harga di dalam negeri yang kurang produksi," ujar Ono.

Apalagi, menurut dia, Indonesia memiliki sumber daya pertanian dan peternakan besar yang masih dapat terus dikembangkan. 

"Kalau produk impor berlebih, [bisa] mempengaruhi pendapatan pertanian, akan merusak tata niaga produk lokal," ujar Ono. 

Retaliasi menuntut Indonesia membayar 350 juta dolar AS, atau sekitar Rp5 triliun, sebagai ganti atas kerugian industri AS akibat peraturan impor holtikultura, hewan dan produk hewani. 

Sebagai informasi AS dan Selandia Baru menggugat kebijakan pembatasan impor yang dilakukan Indonesia terhadap produk makanan, tanaman dan produk hewan, termasuk apel, anggur, kentang, bawang, bunga, jus, buah kering, sapi, ayam dan daging sapi ke WTO.

Gugatan AS bermula sejak 2014 silam. Kala itu, AS meminta konsultasi kepada Indonesia terkait aturan impor hortikultura dan produk hewani yang dianggap tak sejalan dengan ketentuan perdagangan internasional.

Aturan yang mereka permasalahkan, Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura.

Baca: Henky: Pendapatan Tertinggi Indonesia dari Pariwisata

Saat itu, Indonesia membela diri dengan menyatakan bahwa aturan tersebut dibuat untuk menjamin kualitas produk halal, kesehatan masyarakat, dan untuk melindung surplus produksi pertanian domestik. Namun, pembelaan itu tak diterima.

WTO tetap memenangkan gugatan yang diajukan oleh AS dan Selandia Baru. Oke mengatakan sebenarnya pemerintah sudah melaksanakan putusan tersebut dengan merevisi aturan yang dipermasalahkan AS.

Oke mengungkapkan permentan dan permendag itu sudah diubah, tetapi mungkin mereka masih keberatan, sehingga mereka kembali menggugat ke WTO untuk dibahas kembali.

Quote