Ikuti Kami

Nasionalisme Religius & Upaya Meneguhkan Persatuan Nasional

PDI Perjuangan sadar, Islam kebangsaan yang diusung Bung Karno harus tetap dinyalakan. Tradisi tersebut hingga saat ini tetap dirawat

Nasionalisme Religius & Upaya Meneguhkan Persatuan Nasional
Presiden RI pertama Bung Karno bersama Ulama yang juga menteri di masa pemerintahan Bung Karno KH Agus Salim - foto kanan: Presiden Jokowi bersama Cawapresnya Ketum MUI KH. Ma'ruf Amin

BICARA Nasionalisme dan Islam di Indonesia, tak bisa terlepas dari pengaruh gagasan Presiden pertama Indonesia Bung Karno dalam melahirkan Pancasila. 

Bung Karno mengakui dalam menggagas Pancasila, ada esensi ajaran Islam yang termaktub di dalam Sila-Sila-nya. 

Gagasan besar Bung Karno mengawinkan Islam, Nasionalisme dan Marxisme adalah upaya untuk menyatukan aliran pemikiran politik di Indonesia saat itu untuk mencapai persatuan nasional.

Ada dua fase yang mempengaruhi gagasan besar Bung Karno membidani lahirnya Pancasila. Pemikiran dan cara pandangnya terhadap Islam tak bisa lepas saat ngekost di rumah tokoh besar kebangsaan dan Keislaman H.O.S Tjokroaminoto. Di fase pertama itulah, Bung Karno berkenalan dengan Islam dan pergerakan menuju kemerdekaan.

Fase kedua, saat Bung Karno kuliah di HBS Bandung (ITB). Pendidikan Sosialisme Demokrat dan Demokrat Radikal Belanda. Di Bandung, Bung Karno menemukan semangat lain, bukan hanya karena mendengar ceramah-ceramah orang-orang sosialis demokrat macam J.E. Stokvis dan C. Hartogh, tetapi juga karena mendapat siraman radikalisme dari tokoh-tokoh pergerakan Indische Partij, seperti Tjipto Mangkunkusumo dan Douwes Dekker.

Selain kedua fase di atas, masa saat Bung Karno diasingkan di Ende Flores, Nusa Tenggara Timur juga turut mempengaruhi pola pikir keIslaman dan gagasan besar akan kebhinekaan Indonesia. 

Di pengasingan ini, Soekarno kembali banyak merenung tentang Islam. Kepada pendiri Persatuan islam (PERSIS) Ahmad Hasan di Bandung, ia sering minta dikirimi buku-buku Islam, yang ditulis oleh orang-orang Islam maupun kalangan orientalis.  

Ahmad Hasan mengirim buku-buku untuk Soekarno dan dalam balasannya Soekarno memberi komentar tentang isi buku itu sambil mengatakan perasaannya mengenai Islam pada umumnya.

Cara pandang Bung Karno inilah yang harus kita jadikan benteng pertahanan dalam menyaring dogma yang sengaja dipolitisasi untuk mengusik persatuan dan keutuhan NKRI yang sejak dulu terbangun. Apalagi di tahun politik ini agama menjadi komoditas politik paling seksi untuk dimainkan.

Baru-baru ini, Radikalisme yang mengatasnamakan Agama kembali mengusik perdamaian dan keutuhan kita. 

Banyak isu yang terus digoreng politisi di tahun pemilu ini, mulai dari mempertanyakan keberpihakan pemerintahan Jokowi terhadap umat Islam, mengaitkannya dengan PKI, soal Tenaga Kerja Asing (TKA) yang semua itu tanpa data dan fakta yang valid. Pro aseng, asing, hingga berita hoax soal pelarangan azan, penutupan pesantren.

Kita harus meneladani gagasan sang Proklamator dalam rangka menambah keislaman kita untuk kembali pada Islam kaffah (Rahmatan lilalamin), demi tegak dan keutuhan NKRI seperti yang dilakukan para kiai dan ulama kita dahulu.

Pancasila adalah aktualisasi keislaman Bung Karno. Itu salah satu wujud bagaimana Bung Karno menerapkan visi etik Al-Quran dan sunah nabi, itu yang harus kita hidupkan pada zaman ini, terkhusus generasi milenial.

Pada sejarah perjuangan pendiri bangsa kita, tergambar bagaimana keberpihakannya atas Islam. Sebagai seorang Muslim rasional Bung Karno ingin nilai-nilai agama yang dianutnya hidup dalam tindakan dan semangat keindonesiaan kita.

Lewat Pancasila Bung Karno menyebar nilai-nilai Keislaman sebagai ajaran universal termasuk visi etik Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad.

Berbagai  problem umat Islam Indonesia, dan  dalam  hal  ini  umat  Islam di mana saja ialah kesenjangan yang cukup parah antara ajaran   dan  kenyataan.  

Dahulu Bung Karno menyeru umat  Islam untuk “menggali api Islam”, karena agaknya ia melihat bahwa   kaum Muslimin saat itu, mungkin    sampai sekarang, hanya memewarisi  “abu” dan “arang“ yang mati dan statis dari warisan kultural mereka. (Nurcholis Madjid, 1992, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan).

Aktivis HMI di jaman Orde lama, Ahmad Wahib dalam Catatan Harian Pergolakan Pemikiran Islam menulis bahwa pikiran-pikiran Soekarno tentang Islam sangat hidup, begitu inspiratif dan merupakan bagian dari kebangkitan pemikiran Islam sedunia, walaupun dalam beberapa bagian sulit bagi kita menerimannya.

Mengutip tulisan Mohammad Monib, Caleg PDI Perjuangan: dalam visi-misinya, PDI Perjuangan jelas-jelas menyatakan diri sebagai partai pengusung pemikiran & gagasan kebangsaan, keislaman dan kemanusiaan Soekarno. 

Pada Konferensi Asia Afrika, para ulama dunia menganugerahkan gelar Pahlawan Islam kepada Soekarno. Bu Mega, nasabiyah wa mabdaiyah fikrahiyah itu Soekarnois. "Memang saya tidak sempurna memahami Islam. Tapi, jiwa, hati & pikiran saya menjiwai pemikiran bapakku", kata beliau dalam sebuah pembekalan kader partai. 

PDI Perjuangan menyadari bahwa Islam kebangsaan yang diusung Bung Karno harus tetap dinyalakan. Tradisi tersebut hingga saat ini tetap dirawat dan dijaga PDI Perjuangan melalui hubungan harmonis dan menjaga bersilaturahmi dengan para ulama lintas organisasi khususnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk tetap menghidupkan ruh ajaran Islam yang menjunjung tinggi kebangsaan dan kemanusiaan tersebut.

Jalinan silaturahmi PDI Perjungan dengan para ulama dari berbagai kalangan hingga saat ini tidak lepas dari sentuhan Bung Karno yang juga mempersiapkan putrinya, Megawati Soekarnoputri, sejak kecil untuk dekat dengan kalangan Islam.

Konsistensi PDI Perjuangan dalam mendukung kemerdekaan Palestina tidak lepas dari nilai-nilai perjuangan Bung Karno tersebut. 

Masih terekam kuat dalam catatan sejarah bahwa Bung Karno memiliki andil dan jasa besar dalam penemuan makam Imam Bukhari yang merupakan sosok penting bagi umat Islam di dunia.

Dalam kunjungannya ke Moskow saat itu atas undangan Presiden Uni Soviet, Nikita Krushcev, Bung Karno meminta Krushcev mencari makam perawi hadis Imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan. Bahkan dia mendesak Soviet harus membuka masjid untuk kepentingan umat Islam.

Imam Bukhari adalah salah satu perawi hadis paling termasyhur selain Imam Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah maupun An Nasa'i. Ia berperan besar dalam mengisahkan jejak kehidupan Nabi Muhammad SAW. Namun, siapa sangka jika penemuan makam Imam Bukhari tak terlepas dari jasa Bung Karno.

Kegigihan Soekarno akhirnya berbuah manis di tengah panasnya situasi Perang Dingin kala itu. Akhirnya, Masjid Biru dibuka dan makam Bukhori ditemukan, dirawat dan dibuat lebih bagus dan layak.

Dus, dalam penjelasan panjang lebar di atas pada intinya penulis ingin membuktikan Islam dan Nasionalisme adalah bak dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan di Indonesia. 

Kedua kelompok ideologi ini beriringan membangun bangsa, melahirkan harmoni dalam keberagaman dan menjaga keutuhan NKRI dari rongrongan idelogi radikal.

Quote