Ikuti Kami

Pancasilaisme: Refleksi Menyambut Bulan Bung Karno

Oleh: Fajar Ahmad Huseini, Kader PDI Perjuangan dan Ketua DPD Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sulawesi Selatan.

Pancasilaisme: Refleksi Menyambut Bulan Bung Karno
Fajar Ahmad Huseini, Kader PDI Perjuangan dan Ketua DPD Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sulawesi Selatan.

Jakarta, Gesuri.id - Pancasila merupakan warisan prinsip ideologi negara atau sistem kearifan yang paling berharga untuk bangsa ini. Seakan tidak akan pernah selesai untuk mendiskusikan atau mengkaji mata air kecermelangan nilai-nilai luhurnya. 

Karena sejatinya selama spirit perjuangan atas pengkhidmatan pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, yang menjadi tuntutan rasionalisasinya dalam konteks berbangsa dan bernegara - hingga relasinya ketika menetukan sikap kebijakan dalam eskalasi global, maka selama itu pula hal tersebut dapat dipastikan akan selalu sangat relevan. 

Kemerdekaan mengandung makna yang berelasi dengan esensi nilai luhur kemanusiaan dalam konteks keadilannya. Sejarah panjang perjalanan peradaban dunia atas tujuan tegaknya cita-cita kemanusiaan mengalami pasang surut dalam pergumulan perkembangan teorinya yang tak kunjung selesai, di mana salah satu tuntutannya adalah tentang implementasi akan makna kemerdekaan itu sendiri. 

Dimensi tersebut memang memiliki arti yang sangat luas jika ditinjau dari konteks filosofisnya, karena terminologi kemerdekaan manusia (insan) dalam kompleksitasnya tidak hanya berkaitan soal realita sosiologisnya saja, tapi juga meniscayakan jangkauan tujuannya yang menyentuh dimensi spiritualitasnya tentang arti 'menjadi manusia'. Singkatnya, mengutip sebuah ungkapan kearifan, "Sebelum engkau beragama belajarlah dahulu untuk menjadi manusia". 

Meraih makna kemerdekaan sebagaimana Pancasila yang dirumuskan Bung Karno, dari kelima silanya menjadikan landasan konsep "ke-Tuhanan" sebagai pondasinya, dan sejatinya satu kesatuan esensial yang tak bisa dipisahkan dengan sila lainnya. Yang mana bahwa konsep ke-Tuhanan menjadi landasan prinsipnya sebagai tujuan aktualisasi prilaku arah politik-demokrasi, hukum, ekonomi, dan sosilogisnya, dalam meraih cita-cita luhurnya. 

Tentunya dalam kenyataan perjalanannya masih saja menyisakan berbagai faktor penghambat, misalnya salah satunya soal tantangan bias sentimen labelisasi agama yang berlebihan, sehingga sangat dibutuhkan tafsir progresif yang berkesinambungan agar implementasi Pancasila tidak tercederai dengan pandangan dangkal identitas agama - apalagi jika itu misalnya diperparah ketika dimanipulasi untuk tujuan pragmatisme politik kekuasaan. 

Berbicara tentang spirit muatan rumusan Pancasila salah satunya berangkat dari kesadaran kolektif pemuda pemudi Nusantara, yang dideklarasikan pada tanggal 28 Oktober 1928. Sebuah momentum perlawanan tegas yang menggugat cengkraman sistem politik penjajahan - bahwa kolonialisme konotasinya dinyatakan secara langsung sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan. 

Sebenarnya ada beberapa hal yang sangat krusial untuk dicermati atau dianalisa secara mendalam, tentang bagaimana saat gagasan ide awal dan ketika rumusan cita-cita perjuangan itu kemudian dideklarasikan.

Berbagai catatan sejarah menyatakan bahwa, para pemuda pemudi Indonesia ketika awal mengesahkan eksistensi mereka dalam satu komitmen tujuan perjuangan memiliki paradigma idealisme sangat luar biasa yang 'sangat maju' melampaui jamannya saat itu, karena mampu melepaskan bias sentimen identitas suku, ras, dan agama. 

Bahkan juga tercatat dalam sejarahnya bahwa, pada momentum tersebut sudah sudah mempraktekkan kesetaraan gender, karena disamping representasi perwakilan pemuda dari berbagai latar belakang setiap daerah di Nusantara - tercatat ada empat tokoh perempuan yang ikut berpartisipasi aktif yakni, Poernomowoelan, Emma Poeradiredja, Siti Soendari, dan Saridjah Niung atau dikenal dengan sebutan Ibu Soed. 

Inilah wajah sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang begitu sangat membanggakan yang harus disyukuri, dan tentunya keluhuran cita-cita tersebut wajib diintegrasikan sebagai tanggung jawab bersama bagi setiap anak bangsa untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Sebagaimana salah satu muatannya yang kita sering kita saksikan bersama, tentang komitmen edukasi yang diperjuangkan Ibu Megawati Soekarnoputri dan seakan tak pernah lelah, terus menerus secara konsisten memperjuagkan kesadaran emansipasi perempuan. 

Dalam menatap wajah perjalanan sejarah negara kita, jelas sangat kontras ketika dibandingkan dengan sejarah berdirinya konstitusi 'kolonialisme' negara Amerika Serikat (United States of America), yang lahir kurang lebih dua abad sebelumnya. Karena awal terbentuknya konstitusi mereka, faktanya dalam belenggu rantai rasisme dan sangat kental dengan muatan sentimen bias gendernya.

Para pendirinya pada saat itu di mana menjadi 'sebuah keharusan' berasal dari latar belakang seorang pria kulit putih (Eropa) -  semua berasal dari ras mayoritas koloni Inggris, dan pastinya tanpa keterlibatan beberapa suku asli Indian (Native) pemilik sah tanah air benua Amerika. Juga kenyataan lainnya adalah tersingkirnya hak asasi para imigran Afrika dan China yang sudah berdomisili di beberapa wilayah bagian saat itu,  akibat tekanan situasi praktek amoral perbudakan. 

Problem dekadensi aktualisasi ideologis dalam ekosistem kebangsaan kita

Walaupun judul tulisan ini mungkin dianggap klise soal Pancasila, yang pasti menurut hemat penulis tuntutannya karena situasi kebatinan bangsa kita yang masih saja mengkhawatirkan hingga hari ini. Akibat problem 'dekadensi' moral dan paradigma publik kita yang diwariskan Orde Baru dan belum adanya arah pembenahan yang berarti dalam kurun waktu kurang lebih dua puluh lima tahun era reformasi. M

Misalnya sebut saja, jika kita melihat kembali atas terjadinya silang pendapat soal sejarah Pancasila, hal tersebut sebagai salah satu bukti bahwa, pasca Bung Karno menjabat presiden, terjadi upaya sistematis yang memanipulasi sejarah lahirnya Pancasila. Sehingga konsekuensinya terjadi reduksi dan penyelewengan atas makna Pancasila dalam perjalanan fase periode tersebut. 

Sebagai nilai luhur ideologi negara tidak benar-benar bisa diaktualisasikan, hingga dampaknya jelas terasa dalam suasana kebatinan bangsa kita sampai sekarang - sebagai akibat langsung saat itu ketika Pancasila hanya menjadi alat atau tameng yang digunakan untuk menopang kekuasaan rezim otoriter. 

Koreksi atas manipulasi tersebut akhirnya di era reformasi baru kemudian membuahkan hasilnya, setelah Dr. Yudi Latif salah seorang cendikiawan muslim, memetakan dan menjelaskan secara konstruktif tentang sejarah asal-usul Pancasila. Hasil penelitian ilmiahnya tersebut dirangkum dalam karyanya, "Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila". Buku setebal 698 halaman ini diluncurkan di Ruang Nusantara V DPR RI Jakarta, pada hari senin 11 April 2011 lalu. 

Pertanyaannya, kenapa saat itu momentum peluncuran buku tersebut awal publikasinya harus dilakukan di gedung DPR?,  faktanya karena situasinya anggota DPR dan MPR pun saat itu, terjadi silang pendapat soal pemahaman sejarah lahirnya Pancasila. Artinya bisa dibayangkan bahwa itu pertanda adanya kenyataan distorsi luar biasa telah terjadi pada sejarah perjalanan ideologi negara kita.

Singkatnya bahwa, dalam realita perjalanannya  harus ada kritik pendalaman untuk sebuah validasi sejarah yang benar - atas terjadinya berbagai penyimpangan dengan upaya pendalaman ilmiah untuk menjelaskan kembali bahwa, Bung Karno adalah tokoh yang mencetuskan Pancasila. 

Pada sisi lain dengan munculnya problem logika 'oposisi biner' di segelintir kelompok masyarakat kita tentang nasionalisme kebangsaan 'versus' islam adalah salah satu akibat terdistorsinya edukasi pemahaman akar sejarah bangsa, sehingga tak bisa dipungkiri masih terjadi kesalahpahaman paradigma atas ideologi negara yang terjadi di sebagian kecil masyarakat kita.

Kesalahpahaman tersebut bahkan cenderung melahirkan sikap sinisme kepada cita-cita Sang Proklamator, karena dianggap tidak berpihak sama sekali pada 'agama islam sebagai agama mayoritas', padahal sejatinya Bung Karno jelas sangat menjunjung tinggi nilai-nilai substansial setiap agama dalam titik temunya yang diprioritaskan, atau dengan kata lain beliau telah memberikan teladan cara berfikir dan bertindak pada muatan 'substansi yang islami' tanpa harus terjebak hanya sekedar labelisasi dangkal. 

PDI Perjuangan sebagai garda terdepan harapan kesinambungan penguatan jati diri bangsa

Catatan pentingnya adalah, tanpa keseriusan atas komitmen arah edukasi tersebut, terutama dalam melakukan upaya rumusan metodologinya yang lebih komprehensif, di era berkembang pesatnya sistem informasi seperti sekarang, maka agak sulit bangsa ini untuk bisa keluar dari problematika intoleransi atau radikalisme agama yang masih saja mencederai kebhinnekaan kita - dimana realita tersebut masih saja menjadi masalah hingga saat ini. Ditambah lagi beban sentimen identitas agama tersebut sering dimanipulasi dalam dinamika proses politik hanya untuk tujuan pragamatisme elektoral. 

Dalam berbagai momentumnya orasi kebangsaan Ibu Megawati Soekarno Putri, beliau menegaskan bahwa setiap kader PDI Perjuangan harus menjadi pejuang-pejuang ideologis, ini jelas adalah sebuah fokus 'penekanan' yang sangat serius, karena faktanya PDI Perjuangan adalah satu-satunya partai yang melekat  'mandat sejarah' esensi pinsip perjuangan Sang Proklamator.

Artikulasinya adalah wajibnya setiap kader melakukan ikhtiar perbaikan dengan berjuang memaksimalkan muatan ideologi negara agar senantiasa teraktualisasikan dalam setiap kebijakan arah pembangunan. Terutama tentang bagaimana memperbaiki suasana kebatinan arah politik demokrasi kita hari ini dan kedepannya. Harus dikatakan, bahwa ini bukan hanya sekedar tanggung jawab kader partai, tapi sejatinya adalah tanggung jawab bersama setiap anak bangsa tanpa terkecuali. 

Hari ini mungkin ada yang perspektif yang menilai bahwa, sudah lebih dari cukup atau bahkan sudah surplusnya narasi dan diskursus ideologi kebangsaan, tapi di saat yang sama miskin dalam implementasi. Sehingga sangat diperlukan keseriusan bangsa ini untuk melakukan pendalaman kembali atas gagasan dan pemikiran nilai-nilai perjuangan Bung Karno.

Dan sebagaiamana dalam kajian setiap konteksnya yang dimungkinkan maka dibutuhkan 'tafsir progresif' atas Pancasila untuk menemukan energi rasionalisasinya pada pemaknaan historisnya. Sekali lagi harus ditegaskan bahwa, tentunya Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak hanya untuk sekedar mengungkapkan seputar fakta otentik perjalanan sejarahnya, melainkan tentang bagaimana pembumian komitmen tersebut sebagai tujuan kolektif  bernegara, dalam penyelesaian kompleksitas masalah dan tantangan yang menjadi situasi faktual keindonesiaan kita hari ini. 

Kesimpulan singkat

Rumusan Pancasila oleh Bung Karno merupakan hasil sebuah permenungan atau kontemplasi beliau yang kemudian dikostruksikan sebagai sistem nilai, sumbernya dari saripati kearifan yang sudah ada berabad-abad sebelumnya termaktub dalam karakteristik budaya asli Nusantara. Seringkali beliau menyatakan bahwa ia bukan pencipta Pancasila melainkan hanya sekedar menggali nilai - nilai luhur tanah air Indonesia itu sendiri sebagai muatan rumusan Pancasila.

Dalam terminologi Bung Karno bahwa, Pancasila adalah Weltanschauung sekaligus Philosophische grondslag, dan sebagai keniscayaan tuntutan implementasinya berada dalam tiga dimensi filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) yang bertautan dengan tiga lapis kerangka ideologis (keyakinan, pengetahuan, dan tindakan). (Yudi Latif, Wawasan Pancasila, Mizan 2018) 

Harapan kesinambungan arah penguatan Pancasila sebagai ideologi konstitusional di dalam setiap kebijakan pemerintah adalah untuk menjawab seluruh problematika yang terjadi. Semua sektor arah pembangunan tanpa komitmen implementasi nilai prinsip ini, dapat dipastikan bangsa kita akan berjalan mundur atau dengan kata lain itu ibarat seperti akan melanggengkan berbagai masalah, sebut saja di sini misalnya seperti, birokrasi pemerintah yang koruptif di setiap levelnya, kerisauan, pesimisme, pertikaian, hingga soal-soal praktek intoleransi yang masih saja terjadi di ruang publik kita. A

Adalah kenyataan hingga saat ini terdapat jurang yang kian melebar antara ideologi Pancasila sebagai identitas dan soal komitmem pembumian Pancasila. Sehingga mewajibkan kita semua sebagai tanggung jawab bersama setiap anak bangsa, untuk segera mungkin bangkit dari keterpurukan ini!.

 

Kurator; Fransiska Silolongan

Quote