Ikuti Kami

Perlukah Penceramah Bersertifikat?

Oleh: Ketua Badan Anggaran DPR RI, MH Said Abdullah.

Perlukah Penceramah Bersertifikat?
Ketua Badan Anggaran DPR RI, MH Said Abdullah.

Jakarta, Gesuri.id - Rencana Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan penceramah bersertifikat memicu polemik dan penolakan berbagai pihak. 

Menurut Menteri Agama, program ini dicanangkan berlandaskan pemikiran untuk menguatkan wawasan kebangsaan dan pengarusutamaan pemahaman keagamaan rahmatan lil alamin. 

Program ini sebagai respon atas maraknya kegiatan ceramah keagamaan yang dijadikan ruang untuk menyebarkan hoaks, dan kebencian terhadap kelompok tertentu, dan radikalisme. 

Program sertifikasi ini akan disasarkan kepada penceramah semua agama, tidak hanya Islam. Kemenag menargetkan program ini pada tahun 2020 bisa menghasilkan 8.200 penceramah yang tersertifikasi. 

Pertanyaan mendasarnya perlukah penceramah agama bersertifikat? Saya akan mengajak kita semua untuk lebih dalam melihat persoalan dan apakah intervensi terhadap upaya penyelesaian persoalan tersebut sudah tepat. 

Dari Laporan Tahunan The Wahid Institute, yang mereka rilis Januari 2020 lalu menyebutkan, dari total jumlah penduduk dewasa sebanyak 150 juta orang, sebanyak 0,4% menyatakan pernah melakukan tindakan radikal. 

Artinya sebanyak 600. 000 orang pernah melakukan tindakan itu. Selain itu, The Wahid Institute juga menyebutkan ada potensi 7% jumlah penduduk dewasa, atau 10,5 juta orang rentan terpapar paham radikalisme. 

Angka intoleransi beragama juga naik dari tahun 2018 sebesar 46% dan tahun 2019 menjadi 54%. Pada tahun 2018, Alvara Research Center melakukan survei terhadap 4.200 milenial yang terdiri dari 1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar SMA di Indonesia. 

Temuannya memang cukup mengejutkan, yakni 17,8% mahasiswa dan 18,4%  pelajar setuju khilafah sebagai bentuk negara ideal sebuah negara. Responden yang setuju ideologi Islam sebagai ideologi Indonesia di kalangan mahasiswa 16,8% dan pelajar 18,6%. 

Meskipun prosentase itu kalah jauh dengan yang menganggap NKRI sebagai bentuk negara yang ideal, namun sekecil apapun pemikiran yang tidak setuju terhadap NKRI sebagai konsep final bernegara sungguh suatu tantangan untuk kian membumikan pemahaman kebangsaan kita di kalangan anak muda. 

Kemenag sendiri membuat pengukuran dalam melihat tingkat toleransi beragama di Indonesia. Metoda pengukurannya menggunakan skala 1 -100. kategori nilai yang diterapkan dalam survei ini, yaitu sangat tinggi (di atas 80), tinggi (antara 60-80), sedang (di bawah 60-40), dan rendah (40 ke bawah). Indeks kerukunan umat beragama tahun 2019 mencapai 73,83. 

Beberapa provinsi yang indeks kerukunan umat beragamanya di bawah rata rata nasional antara lain; Provinsi Aceh 60,2, Sumatera Barat 64,4, Jawa Barat 68,5, Banten 68,9, Riau 69,3. Sementara beberapa provinsi diatas angka nasional antara lain; Papua Barat 82,1, NTT 81,1, Bali 80,1, Sulut 79,9, Maluku 79,4. 

Merendahkah Ulama 

Saya sepenuhnya setuju atas temuan dari berbagai lembaga survei tersebut, termasuk survei yang dibuat oleh Kemenag. Memang paska orde baru terjadi demokrasi, dibarengi dengan berbagai keterbukaan informasi dan migrasi orang, bahkan secara trans-nasional. 

Ruang inilah yang kemudian membanjiri berbagai pemikiran, dan berbagai ideologi trans-nasional di tanah air, yang di masa orde baru di sensor ketat. Dampaknya, pada ruang struktural tumbuhlah berbagai organisasi dan partai politik yang tidak lagi mendasarkan pada azas Pancasila. 

Bahkan ada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang terang terangan menggunakan azas “Khilafah Islamiyah”. 

Tak hanya itu, di bawah, muncul berbagai organisasi yang berubah-ubah nama, dan menggunakan dakwah Islam untuk menyebarkan paham keislaman sebagai kedok untuk merekrut warga kita menjadi kombatan perang di Afghanistan, Irak, Suriah, termasuk juga di dalam negeri untuk melakukan aksi-aksi teror. 

Kita tidak menutup mata atas hal ini, negara tidak boleh takluk. Negara harus menegakkan hukum, termasuk memilih jalan soft untuk menyemaikan pemahaman keagamaan yang rahmatan lil alamin melalui pendidikan, kebudayaan, dan pemberdayaan ekonomi umat. 

Jika atas problematika ini lalu Kemenag memilih jalan menyertifikasi pada pemuka agama, saya kira ini jalan yang tidak tepat, malah merendahkan para ulama. 

Menjadi ulama atau pemuka agama itu bukan pilihan profesi, layaknya menjadi dokter, arsitek, advokat, dan profesi sejenisnya. Menjadi ulama atau pemuka agama adalah panggilan hidup, panggilan perjuangan. 

Bahkan kalau Kemenag mau berkaca pada sejarah dibentuknya Kemenag, lembaga ini adalah bagian dari kesepakatan Soekarno dan Hatta terhadap umat Islam yang waktu itu dimotori Masyumi yang di dalamnya ada unsur NU. Hasilnya, disepakati oleh Bung Karno, Menteri Agama pertama adalah KH. Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama (NU). 

Artinya, ada andil  besar ulama di dalam berdirinya Kemenag. Sungguh suul adab bila para ulama kita sertifikasi. Sebaiknya kita serahkan kaderisasi pemuka agama terhadap induk organisasinya masing masing, seperti; NU, Muhammadiyah, KWI, PGI, Walubi, PHDI, dll. 

Tugas Kemenag  hanya memfasilitasi program-program yang dijalankan oleh berbagai organisasi keagamaan tersebut. Kalaupun di dalam perjalannya kita menjumpai ceramah-ceramah keagamaan yang melanggar hukum, maka sudah ranahnya aparat penegak hukum. 

Pembenahan kualitas keagamaan, agar dari sisi hulu menghasilkan para figur ulama yang rahmatan lil alamin, lebih baik Kemenag berkonsentrasi membenahi materi ajar di pendidikan agama, baik di sekolah maupun perguruan tinggi. 

Silakan buat mekanisme materi ajar, dan seleksi ketat terhadap sarjana-sarjana kita yang menempuh pendidikan tinggi agama. Di sinilah ruangnya Kemenag  pada sisi hulu. Saya mengerti bahwa program sertifikasi ini tidak menyasar semua ulama, tetapi mereka yang bersedia, dan yang masuk sasaran program. 

Tetapi konsep menyertifikasi ulama ini sekali lagi bukan domainnya Kemenag. Radikalisme, intoleransi dan kerukunan antar umat beragama bukan semata tugas Kemenag. Problem besar itu menjadi tanggungjawab kita bersama, BNPT, Kepolisian, Kemendikbud, Kominfo, Badan Siber, dan berbagai organisasi keagamaan dan tokoh tokoh agama kita, termasuk media massa. 

Kita juga membutuhkan media massa yang memberikan iklim sehat bagi keragamaan dan kebhinnekaan kita. Tidak menjadi “kompor” pada ranah yang sangat sensitif demi mengajar rating. Taruhannya sangat mahal, yakni terkoyaknya kebangsaan kita, yang konsekuensinya adalah kelangsungan kehidupan kita bersama dalam atap NKRI ini. 

Terakhir, saya sangat mengharap program sertifikasi agamawan ini dialihkan menjadi program untuk mendukung kaderisasi dan pengembangan keagamaan yang moderat, dan rahmatan lil alamin oleh organisasi organisasi keagamaan.

Quote