Jakarta, Gesuri.id - Dalam belantara politik Indonesia yang sering kali riuh oleh perebutan pengaruh dan fasilitas, langkah Hardiyanto Kenneth, seorang anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, muncul sebagai oase yang menyentak kesadaran publik.
Keputusannya menyumbangkan seluruh gaji dan tunjangan selama satu tahun penuh (sepanjang 2026) untuk korban bencana di Sumatera dan Aceh bukan sekadar aksi filantropi biasa.
Ini dapat dibaca sebagai sebuah pernyataan politik yang tegas mengenai apa artinya menjadi seorang pemimpin di tengah krisis.
Secara etis, jabatan publik sering kali dipandang sebagai _"privilese"_ atau hak istimewa. Namun, bagi sosok yang akrab disapa Bang Kent ini, jabatan adalah beban moral.
Di tengah ribuan pejabat publik di negeri ini, hanya segelintir yang berani mengambil langkah radikal dengan melepaskan hak finansial mereka demi kepentingan kemanusiaan yang lebih besar.
Langkah ini mengembalikan kita pada hakikat etika politik, di mana politik seharusnya bukan tentang "siapa mendapat apa", melainkan tentang bagaimana kekuasaan dikelola untuk meringankan penderitaan rakyat.
Ketika seorang pejabat rela hidup tanpa gaji negara demi membantu mereka yang kehilangan rumah dan harapan di Aceh serta wilayah Sumatera lainnya, maka ia sedang mempraktikkan "politik kehadiran."
Keneth tampak menerjemahkan mandat partainya, sebagaimana pesan Megawati Soekarnoputri kepada seluruh kadernya agar terus berjalan bersama rakyat. Dalam spirit kepemimpinan, Megawati menyerukan agar seorang pemimpin tak lupa asalnya. Dalam iman politik Megawati, rakyat adalah sumber, maka seorang pemumpin harus "tertawa dan menangis bersama rakyat." Itulah yang diterjemahkan Kent secara konkret.
Kent membuktikan bahwa empati tidak boleh berhenti pada retorika di mimbar, melainkan harus mewujud dalam tindakan konkret yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
Jika kita menggali akar ideologi perjuangannya, langkah Kent ini sejalan dengan spirit yang selalu didengungkan oleh Proklamator kita, Bung Karno.
Sang Putra Fajar pernah berkata, "Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin."
Pesan ini bukan sekadar narasi semu, melainkan perintah bagi setiap pemimpin untuk mencari "wajah Tuhan" dalam diri rakyat yang sedang tertindas atau tertimpa musibah.
Bung Karno mengajarkan bahwa pengabdian kepada Tuhan adalah melalui pengabdian kepada sesama manusia (Humanisme).
Semangat gotong royong yang menjadi inti dari Pancasila tidak akan pernah hidup jika para pemimpinnya hanya berdiri sebagai penonton dari atas menara gading.
Dengan menyumbangkan penghasilannya, Kent sedang menghidupkan kembali sel-sel gotong royong tersebut. Ia memastikan bahwa solidaritas antardaerah bukan sekadar jargon, melainkan urat nadi yang menyatukan bangsa Indonesia dari Jakarta hingga ke pelosok Sumatera dan Aceh.
Selain itu, saat ini tingkat kepercayaan publik terhadap institusi politik sering kali berada di titik nadir.
Masyarakat cenderung skeptis melihat pejabat yang hanya turun ke lapangan saat musim kampanye. Publik menilai, pejabat datang hanya berfoto ria, seolah menyatu dalam duka mereka, padahal di balik layar mereka sekadar menyuap algoritma dan konten di medsos, tapi rasanya kering dalam membaca situasi kebatinan.
Dalam konteks inilah, aksi nyata seperti yang dilakukan Kent menjadi krusial untuk memulihkan martabat politik.
Kepemimpinan yang otentik lahir dari kemampuan seorang pemimpin untuk merasakan detak jantung rakyatnya.
Ketika ia mengatakan bahwa "jabatan adalah panggilan moral untuk berani hadir di saat bangsa sedang diuji," ia sedang menetapkan standar baru bagi rekan-rekan sejawatnya.
Aksi ini menantang status quo bahwa menjadi pejabat berarti hidup dalam kenyamanan.
Sebaliknya, pemimpin sejati adalah mereka yang paling pertama merasa gelisah saat rakyatnya menderita dan paling terakhir menikmati kemewahan.
Pascabencana, kebutuhan yang paling mendesak sering kali bukan hanya logistik, melainkan harapan. Kehilangan harta benda dan anggota keluarga dapat mematahkan semangat hidup.
Namun, ketika korban bencana mengetahui bahwa ada wakil rakyat di ibu kota yang peduli hingga merelakan hak-hak dasarnya, muncul rasa persaudaraan yang kuat.
Inilah yang disebut Kent sebagai upaya "menyalakan kembali semangat saudara-saudara kita agar tidak merasa sendirian."
Bantuan satu tahun gaji mungkin tidak akan menyelesaikan seluruh masalah rekonstruksi di Sumatera dan Aceh secara instan. Namun, secara simbolis dan praktis, ini adalah pemantik.
Jika satu orang pejabat sanggup melakukannya, maka muncul pertanyaan reflektif bagi ribuan pejabat lainnya: "Apa yang sudah kita berikan untuk rakyat melampaui kewajiban administratif kita?"
Pada akhirnya, politik adalah tentang pilihan. Hardiyanto Kenneth telah memilih untuk menanggalkan jubah kenyamanannya demi martabat kemanusiaan. Ini adalah manifestasi dari ajaran Bung Karno tentang dedikasi yang tak kunjung padam kepada rakyat. Semoga langkah ini tidak hanya menjadi catatan kecil di media, melainkan menjadi gerakan moral yang menular, membuktikan bahwa di tangan pemimpin yang tepat, politik tetaplah menjadi alat paling mulia untuk memuliakan manusia.
_Jakarta, 23 Desember 2025_

















































































